Kamis, 24 Mei 2012
Menyambung Mau di Akhir Setiap Bab
Bagi Izzudin bin Abdissalam, hidup adalah persambungan kemauan. Tidak boleh berhenti. Jangan sampai terputus. Ulama besar abad keenam hijriyah itu adalah lelaki yang tegak berdiri melawan pasukan Mongol dan Salib, dengan meluruskan sikap para penguasa dan menggerakkan semangat kaum Muslimin untuk berkorban. Ia pun digelari 'penguasa para ulama'.
Menyambung kemauan, ia terapkan bahkan di tradisinya dalam membaca dan mendengar bacaan. Bila ia sibuk, ada orang kepercayaannya yang membacakan buku. Halaman demi halaman. Persambungan kemauan itu ia teguhkan, dengan cara tidak mau berhenti pada akhir bab tertentu, dari buku itu. Bila suatu bab telah selesai ia baca atau dibacakan, maka ia akan menambah sedikit dari bab baru berikutnya, meski hanya beberapa baris kalimat.
Ketika ditanya tentang kebiasaan itu, ia berkata," Aku tidak ingin menjadi orang yang kemauannya berhenti di akhir suatu urusan."
Sepertinya ini hanya soal membaca buku. Bukan. Bagi Izzudin, itu adalah simbol kemauan yang tak boleh berhenti. Dan begitulah kita harus membaca perjalanan hidup ini. Dengan perspektif kemauanyang tak tak redup di persimpangan peristiwa. Di akhir setiap bab dari halaman kehidupan kita.
Maka tak ada salahnya kita melihat lagi, siapa diri kita. Tak ada jeleknya kita membaca lagi, apa yang kita mau. Meski sudah sampai di sini kita melaju.
Ada baiknya sesekali kita berkaca ulang. Menimbang kembali apa yang sedari dulu kita mau, apakah kini sudah terjadi. Atau apa yang kita mau di masa mendatang, bagaimanakah cara kita membuatnya nyata. Maka semua diawali dari seperti apa definisi kemauan kita.
Tidak mudah mendefinisikan apa yang kita mau. Sebab, itu dipengaruhi oleh banyak faktor. Pengetahuan kita tentang apa yang kita mau, lingkungan yang mengelilingi kita, gangguan dan hambahatan yang menghalangi kita, serta mentalitas kita sendiri dalam menghadapi itu semua. Semua itu akan sangat mempengaruhi bagaimana kita memilih untuk menjadi apa.
Mendefinisikan apa yang kita mau artinya menjelaskan kepada diri kita apa yang sesungguhnya ingin kita capai. Ini bisa sebuah profesi, atau prestasi di luar profesi, pencapaian yang prasastif, atau bahkan sesuatu yang akhirnya kita jalani secara rutin dan berulang-ulang. Bisa juga sebuah definisi paling dekat tentang siapa sesungguhnya kita. Apa yang kita bisa, apa keahlian kita. Bahkan apa sebutan utama tentang diri kita, yang akan kita tuangkan di halaman sejarah hidup kita.
Seringkali, memang, definisi kemauan kita tersimbolisasi pada prjalanan akademis kita. Lalu apa profesi kita. Tapi itu bukan keniscayaan. Sebab mendefinisikan apa yang kita mau tidak semata tentang perjalanan linear hidup kita. Maka kita menyaksikan, begitu banyak orang yang menghabiskan waktu bertahun-tahun dalam jenjang pendidikan tertentu, tetapi sesudah itu ia menekuni profesi yang sama sekali tak ada kaitannya dengan jalur akademis itu. Atau kita mendapati orang-orang yang diujung kelelahannya mendalami suatu ilmu dalam jangka waktu yang lama, ia justru beralih profesi di luar keilmuannya. Tentu banyak juga orang serasi, yang mendapat karunia keselarasan : ilmunya dalah bidang pekerjaannya, pekerjaannya adalah bidang ilmunya. Dunia selalu menyediakan bermacam-macam keadaan.
Apa yang kita mau tidak diukur dari jenisnya. Sebab setiap kita ditumbuhkan oleh Allah dengan rasa suka pada sesuatu yang berbeda-beda. Diberikan kecenderungan untuk menyukai pekerjaan berbeda. Di antara kita ada yang memilih menjadi guru sebagai pembuktian kemauannya, bergelar atau tidak, formal atau informal, yang tidak saja membagi ilmu, tapi juga membimbing dengan cinta. Ada yang menyukai bisnis, mencari rezeki tidak semata untuk yang wajib dinafkahi, tapi juga untuk menghidupkan denyut ekonomi orang lain.
Di antara kita ada yang mencintai kreativitas sebagai poros utama kemauannya, ilmunya, profesinya, dan pengabdiannya. Dari sana lahir ekonomi, pemberdayaan, seni, dan kelembutan budi. Di antara kita ada yang mencintai penemuan, menciptakan hal baru yang spesifik dalam berbagai bidang. Lantas lahir berbagai alat-alat kemudahan, sarana manfaat, pengubah harapan hidup menjadi lebih baik. Bersama itu tentu ada juga diantara kita orang-orang biasa yang melakukan hal-hal biasa, tetapi punya efek luar biasa, atau menjadi penyebab hal lain yang luar biasa. Mereka tahu apa yang mereka mau. Mereka tahu bagaimana berarti.
Kemauan itu yang memberi kita daya dorong, dari dasar diri. Memberi kita rasa ingin, yang terus menerus ada. Tapi kemantapan yang kokoh pada akhirnya yang membuatnya mewujud dengan izin Allah. Kemantapan itulah yang memberi kita daya tahan, keseimbangan, dan mengiringi pasang surut sepanjang hari- hari kita membuktikan kemauan. Menghibur kita di saat lemah. Seperti kata Ibnul Jauzi, "Sesungguhnya kemauan itu kadang meredup di sebagian waktu. Disebabkan rasa lemah atau malas. Atau tunduk pada bisikan syetan. Atau dikendalikan oleh nafsu, atau sisi jiwa yang penyuruh kepada keburukan. Di sini kemauan memerlukan nyala baru, pengingat, penghidup, seperti pertanyaan, 'Sebenarnya ridho siapa yang engkau cari? Nikmat seperti apa yang sesungguhnya engkau buru? Siksa seperti apa yang engkau takutkan?"
Begitulah para salafusshalih dahulu mengajarkan kepada kita bagaimana mereka menjadi orang-orang besar. Mereka punya mau. Dan mereka membuktikan apa yang mereka mau dengan kemantapan. Maka, para salafusshalih, orang-orang besar itu, kini memenihi kisah-kisah petadaban Islam kita.
Kemauan adalah kehormatan diri. Ubaidillah bin Zabyan berkata, "Aku punya seorang paman yang selalu menasehatiku, 'Wahai Ubaidillah, berkemauanlah yang kuat, karena kemauan kuat itu setengah kehormatan diri."
Para salafusshalih yang lain punya banyak prinsip yang serupa. Betapa penting kita menjaga kemauan diri yang baik. Di antara mereka berkata, "Kemauan kuatmu, jagalah selalu. Karena kemauan adalah pengantar segala sesuatu. Barang siapa kemauannya lurus, dan dia setiap kepadanya, maka akan lurus pula segala perbuatannya sesudah itu."
Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa kemauan kuat adalah pembeda antara orang-orang biasa dengan orang luar biasa. Ia berkata, "Orang biasa berkata, "Seseorang itu dilihat dari kebaikannya'. Orang luar biasa berkata, "Seseorang itu dilihat dari apa yang dicari dengan kemauan kuatnya."
Pada akhirnya apa yang kita mau diukur dari dua hal. Pertama, nilai strategisnya. Dan kedua, skalanya. Bila kita memiliki dua hal itu sekaligus, alangkah indahnya. Bila tidak bisa keduanya, salah satunya pun tak mengapa. Nilai strategis, artinya, kemauan kita berkaitan erat dengan pilihan-pilihan sangat strategis yang memengaruhi kehidupan. Tidak saja kehidupan kita sendiri, tapi juga orang lain. Adapun skala, menjelaskan besaran ruang lingkup yang ingin dijangkau dari kemauan itu.
Para shalafusshalih dahulu, telah mengambil peran strategisnya dengan sepenuh kesungguhan. Mereka hidup di masa-masa eksistensi, sekaligus masa ekspansi. Islam berkembang luas karena ada orang-orang besar yang punya kemauan kuat untuk menyebarkan rahmat Islam ke berbagai penjuru. Ke Asia Tengah, Ke Afrika, Eropa, dan negeri-negeri di Timur jauh. Mereka memimpin berbagai ekspedisi, dengan segala biaya dan pengorbanannya.
Mereka hidup di masa- masa rintisan, maka mereka menjadi peletak dasar utama berbagai disiplin ilmu dalam Islam. Mereka menciptakan keputusan-keputusan besar yang mengharmonisasi peradaban Islam yang tumbuh seiring zaman baru. Skala pengetahuan mereka yang begitu luas, kokoh, dan terstruktur, mampu menjadikan mereka para pengambil kesimpulan yang tajam.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar