Pada tanggal 21-23 oktober 2011, bertempat di kota Bandung, Jawa
Barat, sekitar 80 delegasi mahasiswa dari 18 Fakultas Kedokteran di
Indonesia mengadakan pertemuan yang dinamakan “Forum Mahasiswa Berbicara
Kajian Strategis Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia” (FMB
Kastrat ISMKI).
Forum ini diselenggarakan untuk mendiskusikan beberapa hal terkait
Undang-Undang tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) dengan
beberapa stakeholder. Stakeholder tersebut diantaranya adalah Ridwan
Monoarfa (Dewan Jaminnan Sosial Nasional), Usman Sumantri (Kementerian
Kesehatan RI), Hasbullah Thabrany (Guru Besar UI), Ledia Hanifa (Pansus
RUU BPJS dari Fraksi PKS), dan Wahyu Idrawati (Kemenakertrans RI), serta
Mas’ud Muhammad (PT jamsostek) dan Moh. Yani (PT Askes).
Dalam acara ini, mahasiswa sempat memperdebatkan dan mempertanyakan
essensi dari SJSN. Apakah SJSN adalah jaminan sosial nasional? Karena
berdasarkan konsepnya terdapat praktik asuransi. Lantas apakah ini tak
beda dengan asuransi nasional?
Menanggapi hal tersebut, salah satu pakar jaminan sosial yaitu Prof.
Hasbullah Thabrany mengungkapkan bahwa makna jaminan sosial itu luas.
Kata jaminan di Indonesia punya banyak makna. Wajar kalau banyak
perbedaan persepsi. Kemudian istilah sosial, ada 2 makna: paham sosialis
dan makna “miskin”. Ini kekeliruan, tugas kita menjelaskan bahwa
jaminan sosial adalah kolektif bersama untuk memenuhi kebutuhan sosial,
berupa sistem kegotongroyongan. Pemerintah tidak bisa dibebankan
sepenuhnya, kita juga turut berkontribusi. Karena saat ini negara masih
belum mampu untuk menanggung beban ini seluruhnya.
Apabila kita tilik ulang mengenai kata jaminan, dalam persepsi rakyat adalah tanggung jawab pemerintah. Yang artinya dari pemerintah, oleh pemerintah, dan untuk rakyat. Hal ini identik dengan slogan ‘GRATIS” yang marak beredar (berobat gratis, dll). Apakah benar-benar gratis? Ternyata tidak,
dalam praktik berobat gratis memang rakyat gratis untuk berobat tetapi
tetap saja ada dana yang digunakan dari APBN atau APBD. Kerapkali
terjadi pembengkakan dalam penggunaannya dan alokasi dana yang tersedia
habis, alhasil bukan tidak mungkin yang terjadi adalah penurunan mutu
pelayanan kesehatan. Maka, rakyatlah yang dirugikan.
Lalu dari manakah sumber dana APBD /APBN yang digunakan pemerintah?
Ternyata dari APBN yang angkanya mencapai lebih dari 1000 triliun yang
menjadi sumber dana utama bukanlah sumber daya alam seperti PT.
Freeport, bukan pula cukai rokok sebesar 60 Triliun, akan tetapi pajak
penghasilan sebesar 600 triliun. Selanjutnya, pajak ini akan diolah
pemerintah untuk dikembalikan manfaatnya kepada masyrakat melalui
pembangunan, pelayanan, bantuan sosial, dan sebagainya. Ini menunjukkan
bahwa sebenarnya dana pemerintah adalah dana rakyat, dari rakyat, oleh pemerintah, dan untuk rakyat.
Lalu kenapa tidak pernah ada protes terhadap pajak yang kita bayarkan
selama ini. Padahal konsep ini yang sama dengan SJSN yang akan diusung.
Salah satu penyebabnya kembali lagi kepada persepsi masyarakat dan
doktrin eksternal yang menanamkan bahwa SJSN adalah bentuk lepas
tangannya pemerintah. Ternyata ini tidak benar. Rakyat tidak pernah
protes masalah pajak walaupun konsepnya memiliki kesamaan dengan SJSN
karena merasa bahwa pajak adalah kewajiban, bukan iuran. Padahal
sebenarnya pajak juga iuran. Walaupun ada beberapa Negara di eropa barat
yang menyatukan pajak umum dan iuran tersebut. Hal ini dapat dilakukan
tetapi jumlah pajak yang harus dibayarkan mencapai 50% gaji atau upah.
Ada pula negara yang memisahkan antara pajak umum dan iuran ini dengan
alasan terdapat perbedaan prinsip dimana pajak umum digunakan untuk
pelayanan umum seperti membangun sekolah, membangun jalan, membangun
sarana ibadah, dll. Iuran sendiri diperuntukkan untuk manfaat yang
didapat dari program jaminan sosial. Jenis kedua adalah jenis yang akan
diterapkan di Indonesia.
Apakah isu bahwa SJSN memeras rakyat benar? Jelas sekali tidak benar.
Analoginya, bila terdapat dua kelompok, ada kelompok kaya dan kelompok
miskin. Ketika diwajibkan membayar iuran atau pajak, kelompok manakah
yang akan merasa diperas? Tentu kelompok miskin bukan. Lantas apakah
kelompok miskin tetap dipaksa membayar pajak? Tidak. Karena
pemerintahlah yang bertanggung jawab membayar iuran bagi fakir miskin
dan tidak mampu. Jadi tidak ada yang akan diperas. Dan bagi kelompok
yang kaya tidak akan dipukul rata jumlah iurannya, tetapi berdasarkan
persen penghasilan. Jadi disinilah konsep “adil” itu berjalan.
Kenyataan yang ada, apabila RUU BPJS tidak disahkan dan SJSN tidak
dilaksanakan maka “pemerintah telah mengabaikan konstitusi, mengabaikan
hak rakyat, dan membiarkan rakyat hidup tanpa jaminan”. Karena
berdasarkan konstitusi pemerintah wajib mengembangkan jaminan sosial dan
dalam konsep SJSN pemerintah tidak lepas tangan. Jelas disini masih
banyak permasalahan karena perbedaan dalam mendefinisikan jaminan dan
asuransi.
Mengacu dari hasil diskusi yang terjadi di forum ini, maka kami
menyimpulkan bahwa SJSN jelas adalah jaminan (sosial) bukan asuransi
(komersial). Pasca forum ini kami berharap agar pemerintah dapat
melakukan sosialisasi yang luas dan menyeluruh kepada seluruh pihak agar
masyarakat tidak dibingungkan dengan konsepsi dan tujuan jaminan
sosial, baik secara umum maupun yang dimaksud dalam UU SJSN.
Kami juga berharap agar RUU BPJS segera disahkan sehingga SJSN bisa
segera diimplementasikan. Kami juga menyadari bahwa buatan manusia tidak
ada yang sempurna dan dapat memuaskan semua pihak, tapi itu bisa kita
perbaiki setelah dijalankan.
Oleh:
Franz Sinatra Yoga (Mahasiswa FK Unsri 2008; Koordinator Kastrat Nasional ISMKI).
Email: franz.sinatra@yahoo.com
Franz Sinatra Yoga (Mahasiswa FK Unsri 2008; Koordinator Kastrat Nasional ISMKI).
Email: franz.sinatra@yahoo.com
http://inssin.org/mahasiswa-kedokteran-sjsn-itu-jaminan-sosial-bukan-asuransi-komersial/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar