Rabu, 19 Oktober 2011

Malaria Serebral

LAPORAN PROBLEM BASED LEARNING KE IV
BLOK TROPICAL MEDICINE

“MALARIA SEREBRAL”



Tutor : dr. Joko Setyono,MSc
KELOMPOK II
Indah Adhiarini Sukma       G1A008022
Prima Aditya Wicaksana     G1A008034
Annisa Hema Izati                 G1A008039
Bintang Getarto Prabowo    G1A008041
Annisa Amalia F                   G1A008050
Virgiana Putri Astari            G1A008057
Shella Shalis Jamilah            G1A008070
Amma F Muiza                     G1A008080
Wiwin Noviyanti                   G1A008084
Rizky Tejo Hutomo               G1A008085
Noni Frista Al-Azhari           G1A008088


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER
PURWOKERTO

2011
BAB I
PENDAHULUAN

Problem Based Learning (PBL) merupakan suatu metode pengajaran yang melatih keaktifan mahasiswa dalam memecahkan masalah yang dihadapinya, sehingga dapat memperluas wawasan dan pengetahuan mahasiswa. Tujuan dari kegiatan Problem Based Learning ini adalah agar mahasiswa tidak monoton terpaku dalam materi kuliah yang diberikan oleh dosen pada saat kuliah, tetapi lebih aktif dalam mencari sumber-sumber lain yang relevan dengan materi kuliah. Sehingga nantinya mahasiswa akan dapat malatih untuk berpikir kritis, berusaha mencari apa yang masih kurang jelas, dan tentunya dapat melatih keterampilan berkomunikasi  di forum dengan peraturan-peraturan yang sudah ditentukan.
Problem Based Learnig (PBL) kasus IV blok Tropical Medicine merupakan suatu wadah diskusi yang digunakan oleh mahasiswa untuk mencapai tujuan pembelajaran sebagai bekal menjadi dokter umum. Dalam PBL kali ini membahas tentang kasus penyakit malaria.
            Dalam diskusi ini kami sedikit mengalami hambatan karena masih sedikit ilmu yang kita dapatkan. Oleh karena itu, disinilah perlu adanya PBL kita lakukan agar kita dapat saling menukar ilmu dan informasi antara satu dengan yang lain.  Akan tetapi di dalam berdiskusi, informasinya harus didasari referensi yang diakui kebenarannya, misalnya text book atau jurnal.
Mahasiswa diberikan sebuah skenario tentang sebuah masalah yang tejadi di masyarakat. Mahasiswa diharapkan dapat memecahkan masalah tersebut dengan menggunakan langkah-langkah yang ada.
Dengan adanya sistem pembelajaran seperti ini mahasiswa diharapkan dapat menjadi lebih aktif dalam mengikuti kegiatan perkuliahan. Setelah PBL mahasiswa diharapkan dapat menguasai outline yang diberikan dalam bentuk skenario, dan menganalisa permasalahan-permasalahan yang timbul dengan pendekatan yang komprehensif, terintegrasi, dan sistematis.







BAB II
PEMBAHASAN

INFORMASI I
Tn. Reno (36 tahun) datang ke IGD Rumah Sakit dengan keluhan demam terus menerus sejak 10 hari yang lalu. Keluarga pasien mengatakan bahwa 6 jam sebelum datang ke IGD Rumah Sakit pasien tidak sadar dan kejang.

A.    Klarifikasi istilah
Kejang adalah suatu kondisi dimana otot tubuh berkontraksi dan relaksasi secara cepat dan berulang, oleh karena abnormalitas sementara dari aktivitas elektrik di otak, dapat karena kelainan intrakranial, ekstrakranial, atau metabolik (Nelson, 1994; Wikipedia, 2008).
Bangkitan kejang berulang atau kejang yang lama akan mengakibatkan kerusakan sel-sel otak kurang menyenangkan di kemudian hari, terutama adanya cacat baik secara fisik, mental atau sosial yang mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak. (Iskandar Wahidiyah, 1985).

B.     Batasan Masalah
-          Identitas pasien : Laki-laki
Umur : 36 tahun
-          KU : Demam terus menerus
-          Onset : 10 hari yang lalu
-          Kronologis : keluarga pasien mengatakan bahwa 6 jam sebelum datang ke IGD Rumah Sakit pasien tidak sadar dan kejang.

INFORMASI II
            Dari anamnesis lanjutan sebelum tidak sadarkan diri, Tn. Reno mengeluh panas yang didahului dengan menggigil. Suhu naik- turun, napas menjadi cepat, dan kemudian berkeringat. Pasien juga mengeluh lesu, nyeri kepala, nyeri pada tulang dan sendi, rasa tidak nyaman pada perut serta diare ringan. BAK tidak ada keluhan. Selama sakit tidak ada keluhan bicara pelo dan tidak ada keluhan anggota gerak yang lemah sesisi. Tidak ada anggota keluarga maupun tetangga yang sakit serupa. Sebelumnya didapatkan riwayat bepergian ke Papua dan pulang ke Purwokerto akibat sakitnya. Tidak ada riwayat transfuse sebelumnya.
PF : Kesadaran GCS 9, pupil isokor RC (+/+) N, konjunctiva palpebra anemis, sclera ikterik, kaku kuduk (-), thorax dbn, Abdomen : H/L tak teraba, reflek patella (+/+N) dan reflek Babinsky (-).

INFORMASI III
            Dari pemeriksaan Laboratorium didapatkan Hb 4,6 mg/dl, GDS 145 mg%, darah malaria tebal dan tipis didapatkan hasil P. falciparum (+) dengan kepadatan 13.800 parasit/uL. Pemeriksaan penunjang yang lain belum dikerjakan karena tidak ada fasilitas. Tn Reno didiagnosis sebagai malaria berat dengan komplikasi: malaria serebral dan anemia berat.

Sasaran belajar :
1.      Anamnesis
2.      Macam- macam penyebab kejang
3.      Klasifikasi kejang
4.      Mekanisme kejang
5.      Differential diagnosis
6.      Pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan

C.  Analisis masalah

1.      Anamnesis
a.       Keluhan utama                             
b.      Onset
c.       Kronologis                                    : pola demam
d.      Kualitas
e.       Kuantitas
f.       Faktor yang memperberat
g.      Faktor yang memperingan
h.      Gejala Penyerta                             : menggigil, berkeringat, sakit kepala, mual, muntah, diare, nyeri  otot, pegal- pegal, perdarahan
i.        Obat yang sedang dikonsumsi      : apakah sedang mengkonsumsi obat malaria


RPD
1.      Pernah menderita malaria
2.      Riwayat transfusi darah
3.      Pernah ada luka / trauma
4.      Riwayat kejang
5.      Pola demam
6.      Pernah ke daerah endemis malaria

RPK
1.      Ada keluarga yang mengalami gejala sakit yang sama

RPSos
1.      Kondisi lingkungan : sanitasi, iklim, cuaca
2.      Perekonomian
3.      Habits/ kebiasaan
4.      Ada tetangga / kerabat yang menderita gejala penyakit yang sama

2.      Macam- macam penyebab kejang

1.      Gangguan vaskuler
a.       Perdarahan akibat ptechie akibat dari anoreksia dan asfiksia yang dapat terjadi di intra cerebral atau intra ventrikuler.
b.      Perdarahan akibat trauma langsung yaitu berupa perdarahan di sub kranial atau subdural.
c.       Trombosis
d.      Penyakit perdarahan seperti defiasiensi vitamin K
e.       Sindroma hiperviskositas

2.      Gangguan metabolisme
a.       Hipokalsemia
b.      Hipomagnesemia
c.       Hipoglkemia
d.      Amino Asiduria
e.       Hipo dan hypernatremia
f.       Hiperbilirubinemia
g.      Difisiensi dan ketergantungan akan piridoksin.

3.      Infeksi
a.       Meningitis
b.      Enchepalitis
c.       Toksoplasma kongenital
d.      Penyakit cytomegali inclusion

4.      Toksik
a.       Obat convulsion
b.      Tetanus
c.       Echepalopati timbal
d.      Sigelosis Salmenalis

5.      Kelainan kongenital
a.       Paransefali
b.      Hidrasefali

6.      Lain- lain
a.       Narcotik withdrawal
b.      Neoplasma




3.      Klasifikasi Kejang
Secara umum kejang diklasifikasikan menjadi kejang parsial atau kejang generalisata berdasarkan tingkat kesadarannya. Jika kesadaran utuh, maka disebut kejang parsial, sedangkan jika kesadaran hilang disebut kejang generalisata (Lombardo, 2005).
1.      Kejang parsial
Kejang parsial dimulai di suatu daerah di otak, biasanya kortek serebrum. Kejang parsial dapat dikategorikan menjadi parsial sederhana dan parsial komplek (Lombardo, 2005).
2.      Kejang generalisata
Kejang generalisata disebabkan karena adanya gangguan pada seluruh kortek serebrum dan diensefalon serta ditandai dengan awitan aktivitas kejang yang bilateral dan simetrik yang terjadi di kedua hemisfer tanpa tanda-tanda bahwa kejang berasal dari kejang fokal (Lombardo, 2005).

Berdasarkan etiologi penyakitnya, kejang dapat dibedakan menjadi epilepsi idiopatik dan epilepsi simtomatik.
1.      Epilepsi idiopatik
Kejang pertama terjadi pada umur kurang dari 20 tahun, kejang jenis ini disebut epilepsy idiopatik atau primer, karena tidak ditemukan adanya lesi sentral, dan biasanya berhubungan dengan riwayat penyakit keluarga (Lombardo, 2005)
2.      Epilepsi simtomatik
Kejang pertama biasanya terjadi setelah berumur lebih dari 20 tahun, pada epilepsy simtomatik atau sekunder ini kelainan serebrum yang mendorong respon terjadinya kejang. Penyebab tersebut diantaranya :
a.       cedera kepala
b.      gangguan metabolik dan gizi (hipoglikemia, fenilketonuria, defisiensi vitamin B)
c.       faktor toksik (intoksikasi alcohol, putus obat narkotik, uremia)
d.      ensefalitis
e.       hipoksia
f.       gangguan sirkulasi
g.      gangguan keseimbangan elektrolit (terutama hipokalsemia dan hiponatremia)
h.      neoplasma (Lombardo, 2005).

4.      Klasifikasi kejang
Tabel 4. Klasifikasi dan karakteristik kejang (Lombardo, 2005)
Klasifikasi
Karakteristik
PARSIAL
Kesadaran utuh walaupun mungkin berubah; fokus di satu bagian tetapi dapat menyebar ke bagian lain
parsial sederhana
-      Dapat bersifat motorik, sensorik, autonomik, psikis
-      Biasanya berlangsung kurang dari 1 menit
parsial kompleks
Dimulai sebagai kejang parsial sederhana; berkembang menjadi perubahan kesadaran yang disertai oleh
-      gejala motorik, gejala sensorik, otomatisme
-      beberapa kejang parsial komplek mungkin berkembang menjadi kejang generalisata
-      biasanya berlangsung 1-3 menit
GENERALISATA
Hilangnya kesadaran; tidak ada awitan fokal; bilateral dan sistemik; tidak ada aura
tonik-klonik
Spasme tonik-klonik otot; inkontinensia urin dan alvi; menggigit lidah; fase pasca iktus
Absence
Sering salah diagnosis sebagai melamun
-      menatap kosong, kepala sedikit lunglai, kelopak mata bergetar, atau berkedip secara cepat, tonus postural tidak hilang
-      berlangsung beberapa detik
Mioklonik
Kontraksi mirip syok mendadak yang terbatas di beberapa otot atau tungkai; cenderung singkat
Atonik
Hilangnya tonus otot secara mendadak disertai lenyapnya postur tubuh (drop attack)
Klonik
Gerakan menyentak, repetitive, tajam, lambat, dan tunggal atau multiple di lengan, tungkai, atau torso
Tonik
Peningkatan mendadak tonus otot wajah dan tubuh bagian atas, fleksi lengan dan ekstensi tungkai
-      mata dan kepala mungkin berputar ke satu sisi
-      dapat menyebabkan henti napas

5.      Mekanisme kejang


(Lombardo, 2005)


6.      Differential diagnosis
                   I.      Malaria
a.      Definisi
Malaria merupakan suatu penyakit akut maupun kronik, yang disebabkan oleh protozoa genus Plasmodium dengan manifestasi klinis berupa demam, anemia dan pembesaran limpa. Sedangkan meurut ahli lain malaria merupakan suatu penyakit infeksi akut maupun kronik yang disebakan oleh infeksi Plasmodium yang menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual dalam darah, dengan gejala demam, menggigil, anemia, dan pembesaran limpa.
b.      Manifestasi Klinis
Malaria sebagai penyebab infeksi yang disebabkan oleh Plasmodium mempunyai gejala utama yaitu demam. Demam yang terjadi diduga berhubungan dengan proses skizogoni (pecahnya merozoit atau skizon), pengaruh GPI (glycosyl phosphatidylinositol) atau terbentuknya sitokin atau toksin lainnya. Pada beberapa penderita, demam tidak terjadi (misalnya pada daerah hiperendemik) banyak orang dengan parasitemia tanpa gejala. Gambaran karakteristik dari malaria ialah demam periodic, anemia dan splenomegali.
Hampir semua kematian akibat malaria disebabkan  oleh P. falciparum. Pada infeksi P. falciparum dapat meimbulkan malaria berat dengan komplikasi umumnya digolongkan sebagai malaria berat yang menurut WHO didefinisikan sebagai infeksi P. falciparum stadium aseksual dengan satu atau lebih komplikasi sebagai berikut:
1. Malaria serebral, derajat kesadaran berdasarkan GCS kurang dari 11.
2. Anemia berat (Hb<5 gr% atau hematokrit <15%) pada keadaan hitung parasit >10.000/μl.
3. Gagal ginjal akut (urin kurang dari 400ml/24jam pada orang dewasa atau <12 ml/kgBB pada anak-anak setelah dilakukan rehidrasi, diserta kelainan kreatinin >3mg%.
4. Edema paru.
5. Hipoglikemia: gula darah <40 mg%.
6. Gagal sirkulasi/syok: tekanan sistolik <70 mmHg diserta keringat dingin atau perbedaan temperature kulit-mukosa >1oC.
7. Perdarahan spontan dari hidung, gusi, saluran cerna dan atau disertai kelainan laboratorik adanya gangguan koagulasi intravaskuler.
8. Kejang berulang lebih dari 2 kali/24jam setelah pendinginan pada hipertermis.
9. Asidemia (Ph<7,25) atau asidosis (plasma bikarbonat <15mmol/L).
10. Makroskopik hemaglobinuri oleh karena infeksi malaria akut bukan karena obat antimalaria pada kekurangan Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase.
11. Diagnosa post-mortem dengan ditemukannya parasit yang padat pada pembuluh kapiler jaringan otak.
c.  Diagnosis
Diagnosis malaria ditegakkan seperti diagnosis penyakit lainnya berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Diagnosis pasti infeksi malaria ditegakkan dengan pemeriksaan sediaan darah secara mikroskopik atau tes diagnostic cepat.
Anamnesis:
1.    Keluhan utama, yaitu demam, menggigil, berkeringat dan dapat
2.    disertai sakit kepala, mual, muntah, diare, nyeri otot dan pegal-pegal.
3.    Riwayat berkunjung dan bermalam lebih kurang 1-4 minggu yang lalu
4.    ke daerah endemik malaria.
5.    Riwayat tinggal di daerah endemik malaria.
6.    Riwayat sakit malaria.
7.    Riwayat minum obat malaria satu bulan terakhir.
8.    Riwayat mendapat transfusi darah.
9.    Selain hal-hal tersebut di atas, pada tersangka penderita malaria berat,dapat ditemukan keadaan di bawah ini:
a.       Gangguan kesadaran dalam berbagai derajat.
b.      Keadaan umum yang lemah.
c.       Kejang-kejang.
d.      Panas sangat tinggi.
e.       Mata dan tubuh kuning.
f.       Perdarahan hidung, gusi, tau saluran cerna.
g.      Nafas cepat (sesak napas).
h.      Muntah terus menerus dan tidak dapat makan minum.
i.        Warna air seni seperti the pekat dan dapat sampai kehitaman.
j.        Jumlah air seni kurang bahkan sampai tidak ada.
k.      Telapak tangan sangat pucat.
Pemeriksaan Fisik
a.       Demam (≥37,5oC)
b.      Kunjunctiva atau telapak tangan pucat
c.       Pembesaran limpa
d.      Pembesaran hati
Pada penderita tersangaka malaria berat ditemukan tanda-tanda klinissebagai berikut:
a.       Temperature rectal ≥40oC.
b.      Nadi capat dan lemah.
c.       Tekanan darah sistolik <70 mmHg pada orang dewasa dan <50 mmHg pada anak-anak.
d.      Frekuensi napas >35 kali permenit pada orang dewasa atau >40 kali
e.       permenit pada balita, dan >50 kali permenit pada anak dibawah 1
f.       tahun.
g.      Penurunan kesadaran.
h.      Manifestasi perdarahan: ptekie, purpura, hematom.
10.  Tanda-tanda dehidrasi.
a.       Tanda-tanda anemia berat.
b.      Sklera mata kuning.
c.       Pembesaran limpa dan atau hepar.
d.      Gagal ginjal ditandai dengan oligouria sampai anuria.
e.       Gejala neurologik: kaku kuduk, refleks patologis positif.
Pemeriksaan Laboratorium
                                    1.      Pemeriksaan dengan mikroskopik
Sebagai standar emas pemeriksaan laboratoris demam malaria pada penderita adalah mikroskopik untuk menemukan parasit di dalam darah tepi.
Pemeriksaan darah tebal dan tipis untuk menentukan:
a.       Ada/tidaknya parasit malaria.
b.      Spesies dan stadium Plasmodium
c.       Kepadatan parasit
Semi kuantitatif:
(-) : tidak ditemukan parasit dalam 100 LPB
(+) : ditemukan 1-10 parasit dalam 100 LPB
(++) : ditemukan 11-100 parasit dalam 100 LPB
(+++) : ditemukan 1-10 parasit dalam 1 LPB
(++++): ditemukan >10 parasit dalam 1 LPB
Kuantitatif
Jumlah parasit dihitung permikroliter darah pada sediaan darah tebal atau sediaan darah tipis.
                                    2.      Pemeriksaan dengan tes diagnostik cepat (Rapid Diagnostic Test) Mekanisme kerjanya berdasarkan deteksi antigen parasit malaria  menggunakan metoda immunokromatografi dalam bentuk dipstik.
                                    3.      Tes serologi
Tes ini berguna untuk mendeteksi adanya antibodi spesifik terhadap malaria atau pada keadaan dimana parasit sangat minimal. Tes ini kurang bermanfaat sebagai alat diagnostic sebab antibodi baru terbentuk setelah beberapa hari parasitemia. Titer >1:200 dianggap sebagai infeksi baru, dan tes >1:20 dinyatakan positif.

    II.            Demam Tifoid
Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan, pada dewasa lebih bervariasi. Akibatnya lebih sulit menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak terutama makin muda umur penderita bila hanya berpegang pada gejala atau tanda – tanda klinis (Soedarmo et al,, 2008).
Masa inkubasi rata – rata bervariasi 7 – 20 hari, inkubasi terpendek 3 hari terlama 60 hari, dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah kuman yang ditelan, keadaan umum / status gizi serta status imunologis penderita. Secara garis besar gejala - gejala yang timbul dapat dikelompokkan :
a.       Demam satu minggu atau lebih
b.      Gangguan saluran pencernaan
c.       Gangguan kesadaran
Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada umumnya, seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare, konstipasi. Pada pemeriksaan fisik didapatkan suhu badan yang meningkat. Pada minggu kedua gejala yang timbul berupa demam remiten, lidah tifoid, pembesaran hati dan limpa, perut kembung mungkin disertai gangguan kesadaran dari yang ringan sampai berat (Rampengan, 1997).
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa, kadang- kadang mempunyai gambaran klasik berpa stepwise pattern, dapat pula mendadak tinggi dan remiten ( 39- 41ºC ) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi (Rampengan, 1997).
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda – tanda antara lain, lidah nampak kering, dilapisi selaput tebal, di bagian belakang tampak lebih pucat, di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan. Bila penyakit makin progresif akan terjadi desquamasi epitel sehingga papilla lebih prominen (Soedarmo, 2008).
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari ringan sampai sedang dengan peningkatan laju endap darah, gambaran eritrositnya normokrom normositer, diduga oleh karena efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus. Tidak selalu didapatkan leucopenia, sering leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis terutama bila disertai dengan komplikasi lain. Trombosit jumlahnya menurun, gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relative, aneosinofilia, dapat shift to left maupun to the right tergantung dari perjalanan penyakit. Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler, eritroid, dan myeloid system normal, jumlah megakariosit dalam batas normal (Suharti, 2001).

 III.            Meningitis
A.    Definisi
Meningitis adalah radang pada meningen (membran yang mengelilingi otak dan medula spinalis) dan disebabkan oleh virus, bakteri atau organ-organ jamur (Smeltzer, 2001). Meningitis merupakan infeksi akut dari meninges, biasanya ditimbulkan oleh salah satu dari mikroorganisme pneumokok, Meningokok, Stafilokok, Streptokok, Hemophilus influenza dan bahan aseptis (virus) (Long, 1996). Meningitis adalah peradangan pada selaput meningen, cairan serebrospinal dan spinal column yang menyebabkan proses infeksi pada sistem saraf pusat.

B.     Etiologi
1.   Bakteri; Mycobacterium tuberculosa, Diplococcus pneumoniae (pneumokok), Neisseria meningitis (meningokok), Streptococus haemolyticuss, Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Peudomonas aeruginosa
2. Penyebab lainnya lues, Virus, Toxoplasma gondhii dan Ricketsia
3. Faktor predisposisi : jenis kelamin lakilaki lebih sering dibandingkan dengan wanita
4. Faktor maternal : ruptur membran fetal, infeksi maternal pada minggu terakhir kehamilan
5. Faktor imunologi : defisiensi mekanisme imun, defisiensi imunoglobulin.
6. Kelainan sistem saraf pusat, pembedahan atau injury yang berhubungan dengan sistem persarafan.

C.    Gejala meningitis diakibatkan dari infeksi dan peningkatan TIK :
1. Sakit kepala dan demam (gejala awal yang sering)
2. Perubahan pada tingkat kesadaran dapat terjadi letargik, tidak responsif, dan koma.
3. Iritasi meningen mengakibatkan sejumlah tanda sbb:
a.    Rigiditas nukal (kaku leher). Upaya untuk fleksi kepala mengalami kesukaran karena adanya spasme otot-otot leher.
b.   Tanda kernik positip: ketika pasien dibaringkan dengan paha dalam keadan  fleksi kearah abdomen, kaki tidak dapat di ekstensikan sempurna.
b.   Tanda brudzinki : bila leher pasien di fleksikan maka dihasilkan fleksi lutut dan pinggul. Bila dilakukan fleksi pasif pada ekstremitas bawah pada salah satu sisi maka gerakan yang sama terlihat peda sisi ektremita yang berlawanan.
c.    Mengalami foto fobia, atau sensitif yang berlebihan pada cahaya.
d.   Kejang akibat area fokal kortikal yang peka dan peningkatan TIK akibat eksudat purulen dan edema serebral dengan tanda-tanda perubahan karakteristik tanda- tanda vital(melebarnya tekanan pulsa dan bradikardi), pernafasan tidak teratur, sakit kepala, muntah dan penurunan tingkat kesadaran.
e.    Adanya ruam merupakan ciri menyolok pada meningitis meningokokal.
f.    Infeksi fulminating dengan tanda-tanda septikimia: demam tinggi tiba-tiba muncul,
g.   lesi purpura yang menyebar, syok dan tanda koagulopati intravaskuler diseminata

D. Pemeriksaan Diagnostik
                              1.            Analisis CSS dari fungsi lumbal :
a.       Meningitis bakterial : tekanan meningkat, cairan keruh/berkabut, jumlah sel darah putih dan protein meningkat glukosa meningkat, kultur positip terhadap beberapa jenis bakteri.
b.      Meningitis virus : tekanan bervariasi, cairan CSS biasanya jernih, sel darah putih meningkat, glukosa dan protein biasanya normal, kultur biasanya negatif, kultur virus biasanya dengan prosedur khusus.
                              2.            LDH serum : meningkat ( meningitis bakteri ).
                              3.            Glukosa serum : meningkat ( meningitis ).
                              4.            Sel darah putih : sedikit meningkat dengan peningkatan neutrofil (infeksi bakteri)
                              5.            Elektrolit darah :Abnormal .
                              6.            ESR/LED : meningkat pada meningitis
                              7.            Kultur darah/ hidung/ tenggorokan/ urine : dapat mengindikasikan daerah pusat  infeksi atau mengindikasikan tipe penyebab infeksi
                              8.            MRI/ skan CT : dapat membantu dalam melokalisasi lesi, melihat ukuran/letak  ventrikel; hematom daerah serebral, hemoragik atau tumor
                              9.            Ronsen dada/kepala/ sinus ; mungkin ada indikasi sumber infeksi intra kranial.

 IV.            Stroke
Definisi stroke menurut World Health Organization (WHO) adalah tanda-tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (atau global), dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih, dapat menyebabkan kematian, tanpa adanya penyebab lain selain vaskuler.

Gejala klinis :
                              1.            Onset penyakit berupa nyeri kepala mendadak seperti meledak, dramatis, berlangsung dalam 1 – 2 detik sampai 1 menit.
                              2.            Vertigo, mual, muntah, banyak keringat, mengigil, mudah terangsang, gelisah dan kejang.
                              3.            Dapat ditemukan penurunan kesadaran dan kemudian sadar dalam beberapa menit sampai beberapa jam.

                              4.            Dijumpai gejala-gejala rangsang meningen
                              5.            Perdarahan retina berupa perdarahan subhialid merupakan gejala karakteristik perdarahan
                              6.            subarakhnoid.
                              7.            Gangguan fungsi otonom berupa bradikardi atau takikardi, hipotensi atau hipertensi, banyak
                              8.            keringat, suhu badan meningkat, atau gangguan pernafasan.

DIAGNOSIS
Diagnosis didasarkan atas hasil :
1. Penemuan klinis
Anamnesis :
a. Terutama terjadinya keluhan / gejala defisit neurologi yang mendadak
b. Tanpa trauma kepala
c. Adanya faktor resiko GPDO
d. Adanya defisit neurologi fokal
e. Ditemukan faktor resiko (hipertensi, kelainan jantung, dll)
f. Bising pada auskultasi atau kelainan pembuluh darah lainnya
2. Pemeriksaan penunjang
Stroke dengan oklusi pembuluh darah dapat dilakukan pemeriksaan :
1.      CT Scan dan MRI
2.      Untuk menetapkan secara pasti letak dan kausa dari stroke. CT scan
3.      menunjukkan gambaran hipodens
4.  Ekokardiografi
Pada dugaan adanya tromboemboli kardiak (transtorakal, atau transesofageal)
3. Ultrasound scan arteri karotis
Bila diduga adanya ateroma pada arteri karotis. Disini dipakai prinsip doppler untuk menghasilkan continuous wave untuk mendeteksi derajat stenosis secara akurat, serta juga pulsed ultrasound device yang dikaitkan dengan scanner (duplex scan)
4. Intra arterial digital substraction angiografi
Bila pada ultrasound scan terdapat stenosis berat
5. Transcranial Doppler
Dapat untuk melihat sejauh mana anastomosis membantu daerah yang tersumbat
6. Pemeriksaan darah lengkap
Perlu untuk mencari kelainan pada cairan darah sendiri

7.      Pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan
Beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain:
1.      Apus darah tepi
a.       Tebal : ada tidaknya Plasmodium
b.      Tipis : identifikasi spesies Plasmodium/tingkat parasitemia
2.      Pemeriksan  kepadatan parasit ditentukan secara
a.       Semi-kuantitatif : jumlah  parasit per 100 LPB
b.      Kuantitatif dengan menghitung jumlah parasit per 200 lekosit (pada tetes tebal) atau per 1000 eritrosit  pada sediaan tipis.
Pemeriksaan dilakukan tiap 6 jam sampai 3 hari berturut-turut
3.      Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah HRP-2 (histidine rich protein 2) atau enzim parasite lactate dehydorgenase (p-LDH).
4.      QBC (semi quantitative buffy coat )
Prinsip dasar: tes fluoresensi yaitu adanya protein plasmodium yang dapat mengikat acridine orange akan mengidentifikasikan eritrosit terinfeksi plasmodium. Tes QBC adalah cepat tapi tidak dapat membedakan jenis plasmodium dan hitung parasit.
5.      Rapid Manual Test
RMT adalah cara mendeteksi antigen P. Falsiparum dengan menggunakan dipstick. Hasilnyasegera diketahui dalam 10 menit. Sensitifitasnya 73,3 % dan spesifutasnya 82,5 %.
PCR (Polymerase Chain Reaction)
Adalah pemeriksaan biomolekuler digunakan untuk mendeteksi DNA spesifik parasit plasmodium dalam darah. Amat efektif  untuk mendeteksi jenis plasmodium penderita walaupun parasitemia rendah.

Sedangkan untuk memeriksa komplikasi yang terjadi dapat menggunakan pemeriksaan berikut:
a.       GDS (gula darah sewaktu) untuk mengetahui kondisi hipoglikemia pada pasien
b.      Ureum-Kreatinin untuk memeriksa fungsi ginjal
c.       SGOT-SGPT untuk mengetahui fungsi hati pasien
d.      Darah rutin untuk mengetahui keparahan anemia pasien.
(Basuki dan Widodo, 2006; Mandal, Wilkins, Dunbar, dkk., 2008).
V.                  Sepsis

Definisi
Sepsis adalah kondisi medis serius di mana terjadi peradangan di seluruh tubuh yang disebabkan oleh infeksi.

Gejala yang berhubungan dengan kasus: demam dengan fokal infeksi yang jelas (missal ISPA, ISK, pneumonia), gangguan kesadaran yang biasanya disebabkan oleh SIRS (Systemic Inflammatory Response Syndrome), (Balentine, 2011)


Sasbel Tutorial II
1.      Tipe demam malaria
2.      Mekanisme kajang dan inhibisinya
3.      Mekanisme ikterik pada malaria serebral
4.      Tipe- tipe plasmodium dan malaria yang disebabkannya

Analisis masalah      
1.    Tipe demam malaria:
A.  Hari pertama dan ketiga terjadi demam disebutkan dengan nama demam tertian. Namun, pada hari kedua demam akan hilang. Contoh plasmodium yang menyebabkan demam ini adalah plasmodium vivax, plasmodium ovale, dan plasmodium falciarum.
B.  Hari pertama dan hari keempat terjadi demam disebut dengan nama demam quartana. Namun, demam ini pada hari kedua dan ketiga akan hilang. Contoh plasmodium yang menyebabkan demam ini adalah plasmodium malariae.
C.  Referensi lain menyebutkan:
1)      Plasmodium vivax : demam tertian (demam tia hari ketiga)
2)      Plasmodium falciparum : demam tiap 24-48 jam
3)      Plasmodium malaria : demam tiap hari keempat
4)      Plasmodium ovale : demam dengan paling ringan, sering sembuh spontan, jarang relaps
D.  Gejala umum demam: (trias malaria)
1)   Periode dingin:
a.    Menggigil
b.    Kulit dingin dan kering
c.    Pucat sampai dengan sianosis
d.   Suhu tubuh terus meningkat
e.    Durasi selama 15 menit sampai dengan satu jam
2)   Periode panas:
a.    Muka merah
b.    Kulit panas dan kering
c.    Nadi teraba cepat
d.   Suhu sekitar 40 derajat celcius
e.    Pernapasan meningkat
f.     Nyeri kepala
g.    Nyeri retroorbital
h.    Muntah
i.      Syok
j.      Tekanan darah menurun
k.    Delirium sampai dengan kejang pada anak
l.      Durasi lebih lama dari fase dingin sekitar dua jam atau lebih
3)   Periode berkeringat:
a.    Terjadi dari temporalke seluruh tubuh
b.    Suhu tubuh menurun
c.    Terasa lelah dan sering tidur
d.   Bila bangun tidur terasa sehat

E.   Patofisiologi:
Plasmodium akan melepaskan 18-24 merozoit kedalam sirkulasi

Merozoit yang dilepaskan akan masuk ke dalam sel res di limpa

Mengalami fagositosis dan filtrasi

Merozoit yang lolos akan menginvasi eritrosit

Selanjutnya parasit akan berkembang biak secara sexual di dalam eritrosit





Parasit didalam sel darah merah akan alami stadium matur




Eritrosit parsit stasium matur akan alami penonjolan membentuk knob dengan hrp1

Sebagai komonen utama bila eritrosit parasit alami merogoni akan merangsnag TNF alfa dal IL-1
 

Akan terbawa aliran darah sampai ke endotel hypothalamus

Keluarkan prostaglandin

Aktivasi siklik AMP hypothalamus

Peningkatan set point hypothalamus

Hasilkan panas atau demam

















2.      Mekanisme kejang dan inhibisinya

(Lombardo, 2005)



3.      Mekanisme ikterik pada malaria serebral

Perlekatan anatar eritrosit parasit stadium matur pada permukaan endotel vaskuler (sitoadherensi)

Kemudian berkembang parasit eritrosit matur tinggal di jaringan mikrovaskuler (sekuestrasi)

Sekustrasi bisa terjadi di organ vital, salah satunya hepar

Di hepar merupakan tempat sel darah merah akan dihemolisis atau diuraikan menjadi heme

Menghasilkan bilirubin (berwarna kuning/jaundice/ikterik)

Sedangakn diketahui bila parasit pada plasmodium akan menempel di sel darah merah

Sehingga memecah sel darah merah lebih banyak dari batas normal

Kemudian hemolisis yang akan terjadi banyak

Kadar bilirubin yang diproduksi meningkat

Biilirubin berlebihan yang melewati kapasitas pengangkutan albumin dengan mudah meniggalakan sistem sirkulasi dan masuk ke jaringan ekstravaskuer


Ikterik/jaundice







4.      Tipe- tipe plasmodium dan malaria yang disebabkannya

No
Perbandingan Klinik
P. vivax
P. Ovale
P. Malariae
P. Falciparum
1
Masa inkubasi
10-17 hari
10-17 hari
18-40 hari
8-11 hari
2
Gejala prodromal





Berat penyakit
++
+
++
+
3
Pola awal demam
Tidak teratur/ quotidian
Tidak teratur/ quotidian
Teratur – 72 jam
Remiten, kontinyu, quotidian
4
Periodisitas
40 jam
48 jam
Teratur 72 jam
36-48 jam
5
Paroksismal awal





Beratnya
Sedang berat
ringan
Sedang berat
Berat

Jangka waktu rata-rata
10 jam
10 jam
11 jam
16-36 jam
6
Anemia
++
+
+
++++
7
Kelainan SSP
+
+
+
++++
8
Sindrom nefrotik
+
+
++++
+
9
relaps
ya
tidak
tidak
Mungkin tapi sangat jarang
10
Epidemiologi
Tropis, subtropics, iklim sedang
Bagian tengah afrika barat dan kepulauan pasifik selatan
sporadis
Di daerah tropis
11
Sel darah merah yang diinfeksi
Sel muda
Sel muda
Sel tua
Semua sel
12
Morfologi





SDM
membesar
Membesar dengan tipe berumbai
membesar
Sama besar

Titik shuffner
Ada setelah 8-10 jam
Terlihat pada permulaan
-
-

cincin
tipis
Tebal, inti besar,n lebih kecil dari vivax
Tebal, inti besar
Cincin multiple

tropozoit
Sangat ameboid
Kurang ameboid
Membentuk pita melintang sel


Gametosit
bulat
Bulat dengan tepi tidak rata
Bulat lebih kecil dari vivax
Berbentuk bulan sabit

(Gracia, 1996)


5.      Siklus hidup plasmodium:
A.  Daur hidup parasit malaria pada nyamuk (sexual)
B.  Daur hidup parsit malaria pada manusia (asexual) :
1)   Stasium hati (exo-erytrocitic skizogoni):
Saat nyamuk anopheles betina menggigit manusia sporozoit dalalm air liur nyamuk masuk berdarah dalam setengah samapi sejam sporozoit tiba dihati dan infeksi sel hati. Kemudian terjadi reproduksi asexual atau proses skizogoni, masih belum jelas bagaimana sporozoit bis bertahan hidup dr perbedaan suhu. Selanjutnya sporozoit akan berkembang menjadi skizon, bradisporozoit, hipnozoit. Fase hipnozoit ini merupakam proses skizogoni dan laten dalam 8 sampai 9 bulan, fase ini belum berkembang menjadi skizon jaringan sehingga suatu saat hipnozoit aktif kembali kemudian alami mengalami pembalahan (proses skizogoni) kemudian terjadi gejala relaps lagi.
Sporozoit selanjutnya akan melakukan pembalahan sel menjadi skizon muda dan skizon matang. Selama proses ini hepatosit terinfeksi dan membesar menjadi merozoit (hidup sangat singkat dan garus segera masuk kedalam eritrosit) sehingga bersifat sangat motil karena kontraksi jaringan mikrotubulus dan kontraktil aktin.

Gambar 1. Siklus hidup nyamuk Anopheses (Liver Stages)

2)   Stadium darah / skizogoni eritrositik/ reproduksi asexual stadium darah
Merozoit dilepaskan dari hepatosit ke darah menginvasi eritrosit dalam 4 tahap:
a.    Perlekatan merozoit dengan eritrosit
b.    Perubahan bentuk mendadak eritrosit terinfeksi
c.    Invaginasi membrane eritrosit dimana parasit melekat
d.   Pembentukan kantong merozoit
Kemudian terjadi penutupan kembali membrane eritrosit disekelilingi parasit, selanjutnya merozoit masuk melalui proses endositosis dan dinding sel darah merah menutup kemabli dengan proses berlangsungnya selama 20 detik. Setelah 12 -24 jam tampak pigmen hematin sisa penguraian dari sel daah merah pada sitoplasma dan parasit kemudian berbentuk sebagai sel tunggal yaitu tropozoit kemudian terjadi pembelahan nucleus menjadi matur dan terjadi proses sizogoni dan pembentukan beberapa merozoit.
Parasit butuh bahan glukosa untuk pertumbuhan sehingga setelah masuk sel darah merah tampak tinggi metabolism pada sel yang ternfeksi. Parasit juga butuh Hb dan macam-macam asam nukleat untuk membentuk merozoit baru. Setelah itu tropozoit akan membelah menjadi inti-inti kecil kemudian terjadi pembelahan sitoplasma dan terbentuk skizon, terjadi pembelahan lagi dan perbanyakan organela sehingga terbentuk merozoit dan skizon asal akan mengecil menjadi sisa korpus residual yang berisi pigmen malaria. Setelah pembentukan merozoit selesai eritrosit akan rupture dan meleaskan merzoit ke dalam plasma untuk menyerang eritrosit lain kemudian proses baru.

BAGUS BANGET
Gambar 2. Siklus Hidup Plasmodium falciparum (Pearson, 2009)


PEMBAHASAN MALARIA SEREBRAL
Definisi
 Malaria adalah penyakit yang  diakibatkan oleh parasit plasmodium melalui gigitan nyamuk anopheles betina yang mengancam keselamatan jiwa.

Malaria berat adalah malaria yang disebabkan oleh Plasmodium falciparum stadium aseksual. Malaria dengan disertai satu atau lebih kelainan hiperparasitemia bila > 5% eritrosit dihinggapi parasit, kesadaran menurun (delirium,stupor, koma), anemia berat (kadar Hb < 7,1 g/dl), ikterus(kadar bilirubin serum > 50 mmol/L), hipoglikemia (kadar glukosa darah < 40mg/dl), gagal ginjal (kadar kreatinin serum > 30 mg/dl dan diuresis < 400 ml/24 jam), hipertermia,suhu badan > 390 C, syok, hipotensi, dan edema paru akut.

Etiologi
 Malaria disebabkan parasit jenis Plasmodium. Parasit ini ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi.
Ada 4 jenis malaria pada manusia:
Plasmodium falciparum
Plasmodium vivax
Plasmodium malariae
Plasmodium ovale.
Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax merupakan jenis yang paling sering dijumpain, namun yang paling mematikan adalah jenis Plasmodium falciparum.

Epidemiologi
Hampir separuh populasi Indonesia sebanyak lebih dari 90 juta orang—tinggal di daerah endemik malaria.11 Diperkirakan ada 30 juta kasus malaria setiap tahunnya, kurang lebih hanya 10 persennya saja yang mendapat pengobatan di fasilitas kesehatan. Beban  terbesar dari penyakit malaria ini ada di provinsi-provinsi bagian timur Indonesia di mana malaria merupakan penyakit endemik. Kebanyakan daerah-daerah pedesaan di luar Jawa-Bali juga merupakan daerah risiko malaria.
Di Jawa Tengah dan Jawa Barat, malaria merupakan penyakit yang muncul kembali (re-emerging diseases). Menurut data dari fasilitas kesehatan pada 2001, diperkirakan prevalensi malaria adalah 850,2 per 100.000 penduduk dengan angka yang tertinggi 20 persen di Gorontalo, 13 persen di NTT dan 10 persen di Papua.
Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 200112 memperkirakan angka kematian spesifik akibat malaria di Indonesia adalah 11 per 100.000 untuk laki-laki dan 8 per 100.000 untuk perempuan.
Manifestasi malaria untuk mereka yang tinggal di wilayah endemis lebih bervariasi pada bayi dan anak. Banyak dari mereka meninggal karena malaria serebral dan manifestasi berat lain yang sering terjadi antara umur enam bulan sampai tiga tahun pada anak yang tinggal di wilayah endemis.

Faktor resiko
Sekitar separuh penduduk dunia memiliki resiko terhadap malaria, terutama pada Negara berpenghasilan rendah.
            Orang yang bepergian dari wilayah bebas malaria menuju “hot spots” penyakit amat rentan untuk terinfeksi.
Sebagian besar kasus dan kematian terjadi di sub sahara Afrika. Selain itu, Asia, Amerika Latin, Timur Tengah dan sebagian wilayah Eropa juga terinfeksi. Tahun 2006, malaria menyerang 109 negara dan kepulauan.
Resiko khusus.
• Orang dengan sedikit atau tanpa kekebalan tubuh yang pindah dari wilayah bebas malaria menuju wilayah dengan tingkat penyakit malaria tinggi rentan terhadap penyakit tersebut.
• Wanita hamil tanpa kekebalan sangat beresiko terhadap malaria. Kesakitannya dapat berakibat pada tingginya tingkat kelahiran premature dan menyebabkan 10% kematian ibu maternal (meningkat 50% pada kasus penyakit parah) setiap tahun.
• Wanita hamil dengan kekebalan tubuh kurang akan beresiko terhadap anemia dan pertumbuhan janin yang tidak sempurna, walaupun mereka tidak menampakkan tanda-tanda penyakit akut. Tiap tahun diperkirakan 200.000 bayi meninggal akibat malaria selama kehamilan.
• Wanita hamil yang menderita HIV juga memiliki resiko tinggi.

Tanda dan gejala
Gejala awal yang sering – demam, sakit kepala, mual dan muntah – biasanya muncul 10 sampai 15 hari setelah terinfeksi. Bila tidak mendapatkan pengobatan yang tepat, malaria dapat menyebabkan keseriusan dan sering berakhir dengan kematian.

Kriteria Diagnosis
WHO mendefinisikan Malaria Berat sebagai ditemukannya Plasmodium falciparum bentuk aseksual dengan satu atau beberapa komplikasi dibawah ini :
  1. Malaria serebral : koma tidak dapat dibangunkan/lama penurunan kesadaran lebih dari 30 menit atau setelah serangan kejang dan tidak disebabkan oleh penyakit lain.
  2. Anemia berat (Hb < 5 gr% atau hematokrit < 15 gr%)pada hitung parasit > 10.000/uL ; bilamana anemianya hipokromik dan / atau mikrositik dengan mengesampingkan adanya anemia defisiensi besi, talasemia/hemoglobinopati lainnya.
  3. Gagal ginjal akut (urin < 400ml/24 jam pada orang dewasa atau <12 mL/kbBB pada anak-anak setelah dilakukan rehidrasi, disertai kreatinin > 3 mg%).
  4. Edema paru / ARDS (Adult Respiratory Distress Syndrome).
  5. Hipoglikemia : gula darah < 40 mg%. 6. Gagal sirkulasi atau syok : tekanan sistolik < 70 mmHg (anak 1-5 tahun tekanan sistolik < 50 mmHg); disertai keringat dingin atau perbedaan temperatur kulit mukosa > 1 drjt C.
  6. Perdarahan spontan dari hidung, gusi, alat pencernaan dan atau disertai kelainan laboratorik adanya gangguan koagulasi intravaskuler.
  7. Kejang berulang > 2 kali per 24 jam setelah pendinginan para hipertermia.
  8. Asidemia (pH > 7,25) atau asidosis (plasma bicarbonat < 15 mmol/L).
  9. Makroskopik hemoglobinuri oleh karena infeksi malaria akut (bukan karena obat anti malaria pada seorang dengan defisiensi G6PD).
  10. Diagnosis post-mortem dengan ditemukannya parasit yang padat pada pembuluh kapiler jaringan otak.( Hadi U. 2008)

Penatalaksanaan Malaria
Penanganan malaria berat yang cepat dan benar akan menyelamatkan penderita dari kematian. Untuk itu diperlukan pengetahuan yang luas tentang manifestasi malaria berat, evaluasi fungsi organ yang terlibat, deteksi parasit dengan cepat serta langkah-langkah tindakan dan pengobatan. Penanganan Malaria berat secara garis besar terdiri dari 3 komponen, yaitu 9:13.16.19.20
A.    Tindakan Umum
Sebelum diagnosa dapat dipastikan melalui pemeriksaan darah malaria, beberapa tindakan perlu dilakukan pada penderita dengan dugaan malaria berat berupa tindakan perawatan di ICU yaitu:
1. Pertahankan fungsi vital: sirkulasi, kebutuhan oksigen, cairan dan nutrisi
2. Hindarkan trauma: dekubitus, jatuh dari tempat tidur
3. Hati-hati komplikasi: kateterisasi, defekasi, edema paru karena over hidrasi
4. Monitoring; temperatur, nadi, tensi, dan respirasi tiap ½ jam. Perhatikan timbulnya ikterus
dan perdarahan.
5. Monitoring: ukuran dan reaksi pupil, kejang dan tonus otot.
6. Baringkan /posisi tidur sesuai dengan kebutuhan
7. Pertahankan sirkulasi: bila hipotensi lakukan posisi trendelenburg, perhatikan warna dan
temperatur kulit
8. Cegah hiperpireksi
9. Pemberian cairan: oral, sonde, infus, maksimal 1500 ml bila tidak ada dehidrasi
10. Diet: porsi kecil dan sering, cukup kalori, karbihidrat dan garam
11. Perhatiksn kebersihan mulut
12. Perhatikan diuresis dan defekasi, aseptic kateterisasi
13. Kebersihan kulit: mandikan tiap hari dan keringkan
14. Perawatan mata: hindarkan trauma, tutup dengan kain/ gaas lembab
15. Perawatan anak: hati-hati aspirasi, hisap lendir sesering mungkin, letakkan posisi kepala
sedikit rendah, posisi dirubah cukup sering dan pemberian cairan dan obat harus hati-hati.

B.     Pengobatan Untuk Parasit Malaria
1.      Pemberian Obat Anti Malaria (OAM)
Setelah diagnosa malaria ditegakkan biasanya dijumpai Plasmodium falciparum sebagai penyebab malaria berat.
Penggunaan OAM pada malaria berat berbeda dengan malaria biasa karena pada malaria berat diperlukan daya membunuh parasit secara cepat dan bertahan cukup lama di darah. Oleh karenanya sering dipilih pemakaian obat per parenteral.
Karena meningkatnya resistensi klorokuin maka WHO tahun 2006 merekomendasikan pengobatan malaria dengan menggunakan obat ACT (Artemisin base Combination Therapy) sebagai lini pertama pengobatan malaria, baik malaria tanpa komplikasi atau malaria berat.5
a.      Derivat Artemisinin
Merupakan pilihan pertama untuk pengobatan malaria berat, mengingat keberhasilan selama ini dan mulai didapatkannya kasus malaria falsiparum yang resisten terhadap klorokuin. Sejak tahun 2006 WHO merekomendasikan terapi Artemisin sebagai lini pertama untuk terapi malaria berat.11.22 Golongan artemisin yang dipakai untuk pengobatan malaria berat
Tabel 1. Dosis obat anti malaria pada malaria berat
OBAT ANTIMALARIA

DOSIS

Derivat Artemisinin

Artesunate: 2,4 mg/kg ( Loading dose ) IV, selanjutnya 1,2 mg/kg setelah 12 jam, kemudian 1,2 mg/kg/hari selama 6 hari, jika pasien dapat makan, obat dapat diberikan oral
Artemether: 3,2 mg/kg ( Loading dose ) IM pada hari I selanjutnya 1,6 mg/kg/hari (biasanya diberikan 160 mg dilanjutkan dengan 80 mg) sampai pasien dapat makan, obat dapat diberikan oral dengan kombinasi Artesunat dan Amodiaquin selama 3 hari.
Arteether: 150 mg sekali sehari intramuskular untuk 3 hari.

KINA
Loading dose: Kina dihidrokhlorida 20 mg / kg BB diencerkan dalam 10 ml/kg BB (2mg/ml) dektrose 5% atau dalam infuse dektrose dalam 4 jam.
Dosis Maintenen : Kina dihidrokhlorida 10 mg /kgBB diencerkan dalam 10 ml/kg BB (1mg/ml ) dektrose 5 % ,pada orang dewasa dosis dapat diulang tiap 8 jam dan pada anakanak tiap 2 jam, diulang tiap 12 jam, sampai pasien dapat makan.
Kina oral: Kina sulfat 10 mg /kg, tiap 8 jam sampai 7 hari.
Di Norway Maret 2008, 9 orang pasien dengan malaria berat diterapi dengan Artesunat salah satu pasien adalah ibu hamil trimester III, 7 orang kombinasi Artesunate dengan Doksisiklin, I orang dengan Artesunate saja dan satu orang dengan kombinasi Artesunate dengan Klindamisin, semua pasien sembuh dan tidak ada relap setelah 4 minggu terapi.
Suatu penelitian besar di Asia tahun 2007 yang membandingkan terapi Artesunate intravena dengan kina pada 1461 pasien malaria berat dimana Artesunate lebih bermanfaat menurunkan angka kematian, dimana dengan terapi Artensunate angka kematian 15 % dibanding dengan kinin angka kematian 22 %, disamping efek samping Artesunate lebih rngan dari kina seperti hipoglikemia.
Suatu penelitian Sequamat di Bangladesh, Myanmar, Indonesia, India mendapatkan penurunan angka kematian 34,7 % dengan menggunakan Artesunate dibandingkan dengan terapi Kina intra vena.

b.      Kina (kina HCI/dihidro-klorida/kinin Antipirin)
Kina merupakan obat anti malaria yang sangat efektif untuk semua jenis plasmodium dan efektif sebagai schizontocidal maupun gametocidal. Dipilih sebagai obat utama untuk malaria berat karena masih berefek kuat terhadap P. falciparum yang resisten terhadap klorokuin, dapat diberikan dengan cepat dan cukup aman.
1. Dosis loading tidak dianjurkan untuk penderita yang telah mendapat kina atau meflokuin 24 jam sebelumnya, penderita usia lanjut atau penderita dengan pemanjangan QT interval / aritmia.
2. Kina dapat diberikan secara intramuskuler bila melalui infus tidak memungkinkan. Dosis loading 20 mg/Kg BB diberikan i.m terbagi pada 2 tempat suntikan, kemudian diikuti dengan dosis 10 mg/Kg BB tiap 8 jam sampai penderita dapat minum per oral.
3. Pemberian kina dapat diikuti dengan terjadinya hipoglikemi karenanya perlu diperiksa gula darah 8-12 jam
4. Pemberian dosis diatas tidak berbahaya bagi wanita hamil.
5. Bila pemberian sudah 48 jam dan belum ada perbaikan, atau gangguan fungsi hepar/ginjal belum membaik, dosis dapat diturunkan setengahnya
Pada penelitian di Minahasa ternyata dosis awal 500 mg/8jam per infusmemberikan mortalitas yang lebih rendah dibandingkan dosis awal 1000mg.
Di AS untuk daerah yang tidak resisten dengan klorokuin, klorokuin masih merupakan pilihan untuk terapi malaria berat, sedangkan untuk daerah yang resisten dapat diberikan kombinasi Atovaquane dan Proguanil, kombinasi kinin oral dengan tetrasiklin/doksisiklin/klindamisin atau meflokuin.

c.       Kinidin
Bila kina tidak tersedia maka isomernya yaitu kinidin cukup aman dan efektif. Dosis loading 15mg basa/kg BB dalam 250 cc cairan isotonik diberikan dalam 4 jam, diteruskan dengan 7,5mg basa/kg BB dalam 4 jam tiap 8 jam, dilanjutkan per oral setelah sadar, kinidin efektif bila sudah terjadi resistensi terhadap kina, kinidin lebih toksik terhadap jantung dibandingkan kina.



d.      Klorokuin
Klorokuin masih merupakan OAM yang efektif terhadap P. falciparum yang sensitif terhadap klorokuin. Keuntungannya tidak menyebabkan hipoglikemi dan tidak mengganggu kehamilan. Dosis loading : klorokuin 10 mg basa/Kg BB dalam 500 ml cairan isotonis dalam 8 jam diulang 3 x. Bila cara per infus tidak memungkinkan dapat diberikan secara i.m atau subkutan dengan cara 3,5mg/Kg BB klorokuin basa tiap 6 jam, dan 2,5 mg/Kg BB klorokuin tiap 4 jam.

e.       Injeksi kombinasi sulfadoksin-pirimetamim (fansidar)
1)      Ampul 2 ml : 200 mg S-D + 10 mg pirimetamin
2)      Ampul 2,5 ml : 500 mg S-D + 25 mg pirimetamin

2.      Exchange transfusion (transfusi ganti)
Tindakan exchange transfusion dapat mengurangi parasitemi dari 43% menjadi 1%. Penelitian MILLER melaporakan kegunaan terapi untuk menurunkan parasitemia pada malaria berat. Tindakan ini berguna mengeluarkan eritrosit yang berparasit, menurunkan toksin parasit, serta memperbaiki anemia.
Indikasi Tranfusi tukar (Rekomendasi CDC) :4
1. Parasitemia >30 % tanpa komplikasi berat
2. Parasitemia > 10 % disertai komplikasi berat
3. Parasitemia >10% dengan gagal pengobatan.
Komplikasi tranfusi tukar 20
1. Overload cairan.
2. Demam, reaksi alergi
3. Kelainan metabolic (hipokalsemia)
4. Penyebaran infeksi.

C.    Pengobatan Komplikasi
1.      Pengobatan malaria serebral
a.       Pemberian steroid pada malaria serebral, justru memperpanjang lamanya koma dan menimbulkan banyak efek samping seperti pneumoni dan perdarahan gastro intestinal
b.      Heparin, dextran, cyclosporine, epineprine dan hiperimunglobulin tidak terbukti berpengaruh dengan mortalitas.
c.       Anti TNF, pentoxifillin, desferioxamin, prostasiklin, asetilsistein merupakan obat-obatan yang pernah dicoba untuk malaria serebral
d.      Anti-Konvulsan (diazepam 10 mg i.v)
Pengobatan Pada Gagal Ginjal Akut
a.      Cairan
Bila terjadi oliguri infus N.Salin untuk rehidrasi sesuai perhitungan kebutuhan cairan, kalau produksi urin < 400 ml/24 jam, diberikan furosemid 40-80 mg. bila tak ada produksi urin (gagal ginjal) maka kebutuhan cairan dihitung dari jumlah urin +500 ml cairan/24 jam
b.      Protein
Kebutuhan protein dibatasi 20gram/hari (bila kreatinin meningkat) dan kebutuhan kalori diberikan dengan diet karbohidrat 200 gram/hari
c.       Diuretika
Setelah rehidrasi bila tak ada produksi urin, diberikan furosemid 40 mg. setelah 2-3 jam tak ada urin (kurang dari 60cc/jam) diberikan furosemid lagi 80 mg, ditunggu 3-4 jam, dan bila perlu furosemid 100- 250 mg dapat diberikan i.v pelan.
d.      Dopamin
Bila diuretika gagal memperbaiki fungsi ginjal dan terjadi hipotensi, dopamin dapat diberikan dengan dosis 2,5-5,0 ugr/kg/menit. Penelitian di Thailand pemberian dopamin dikombinasikan dengan furosemide mencegah memburuknya fungsi ginjal dan memperpendek lamanya gagal ginjal akut pada penderita dengan kreatinin <5mg%. Pada kasus dengan kreatinin > 5mg% tidak bermanfaat.
e.       Dialis dini
Bila kreatinin makin meningkat atau gagal dengan pengobatan diuretika dialisis harus segera dilakukan. Indikasi dialisis secara klinis dijumpai gejala uremia, adanya tanda overhidrasi, asidosis dan hiperkalemia.
f.       Tindakan terhadap hiperkalemi (serum kalium >5,5 meg/L
Diberikan regular insulin 10 unit i.v/ i.m bersama-sama 50 ml dekstrose 40% dan monitor gula darah dan serum kalium. Pilihan lain dapat diberikan 10-20 ml 10% i.v pelan-pelan.
g.      Hipokalemi
Hipokalemi terjadi 40% dari penderita malaria serebral. Bila kalium 3.0-3,5 meq/L diberikan KCL perinfus25 meq, kalium 2.0-2,9 meq/L diberikan KCL perinfus 50 meq.
h.      Hiponatremi
Hiponatremi dapat menyebabkan penurunan kesadaran. Pada malariaserebral, hiponatremi terjadi karena kehilangan elektrolit lewat muntah dan diare ataupun kemungkinan sindroma abnormalitas hormon anti diuretik (SAHAD).
i.        Asidosis
Asidosis (pH <7,15 ) merupakan komplikasi akhir dari malaria berat dan sering bersamaan dengan kegagalan fungsi ginjal. Pengobatannya dengan pemberian bikarbonat.
2.      Tindakan terhadap malaria biliosa
Penanganan malaria biliosa/malaria dengan ikterik tidak ada yang spesifik, tindakan yang diberikan adalah sebagai berikut :
a.       Pemberian kina dosis awal 20 mg/kg boleh diberikan bila 24 sebelumnya tidak memakai kina. Bila setelah 48 jam keadaan umum belum membaik, dosis kinin diturunkan setengahnya.
b.      Bila ikterik disebabkan karena intravaskuler hemolisis, kina dihentikan dan diganti klorokuin dengan dosis 5mg/kg BB.
c.       Bila anoreksi berat berikan 10% glukose Iv, untuk mencegah hipoglikemia.
d.      Pada hiperbilirubinemia berat sebaiknya dihindarkan suntikan intra muskuler karena bahaya perdarahan/hematom/DIC.
e.       Vitamin K dapat diberikan 10mg/hari i/v selama 3 hari untuk memperbaiki faktor koagulasi.
f.       Hati-hati dengan obat yang mengganggu fungsi hati seperti parasetamol, tetrasiklin
g.      Pada ikterik berat dapat diberikan colesteramin
Bila pengobatan malaria diberikan dengan adekuat maka penurunan bilirubin akan terjadi dengan cepat pada hari ke 3 dapat turun lebih dri 50%
3.      Hipoglikemia
Periksa kadar gula darah secara cepat pada setiap penderita malaria berat. Bila kadar gula darah kurang dari 40mg% maka :
a.       Beri 50ml dekstrose 40% i.v dianjutkan dengan
b.      Glukosa 10% per infus 4-6 jam
c.       Monitor gula darah tiap 4-6 jam
d.      Bila perlu obat yang menekankan produksi insulin seperti, glukagon atau somatostatin analog 50 mg subkutan.
4.      Penanganan blackwater fever
a.       Istirahat di tempat tidur, karena hemolisis memudahkan terjadinya kegagalan jantung.
b.      Menghentikan muntah dan sedakan.
c.       Transfusi darah bila Hb < 6 gr% atau hitung eritrosit < 2 juta/mm.
d.      Kina tidak dianjurkan pada blackwater fever dengan G-6PD defisiensi.
e.       Monitor produksi urin, ureum dan kreatinin. Bila ureum lebih besar 200 mg% dipertimbangkan dialisis.
5.      Penanganan Malaria Algid
Tujuan dalam penangan malaria algid dengan syok yaitu memperbaiki gangguan hemodinamik, dengan cairan atau dopamin.
6.      Penanganan Edema Paru
Edema paru merupakan komplikasi yang fatal, oleh karenanya pada malaria berat sebaiknya dilakukan penanganan mencegah terjadinya edema paru:
a.       Pemberian cairan dibatasi, sebaiknya menggunakan monitoring dengan CVP. Pemberian cairan melebihi 1500 ml menyebabkan edema paru.
b.      Bila anemi (HB<5gr%) transfusi darah diberikan perlahan-lahan.
c.       Mengurangi beban jantung kanan dengan diuretika.
d.      Dapat dicoba pemberian vasodilator (nitro-prussid) atau nitro-gliserin
e.       Perbaiki hipoksia dengan memberikan oksigen konsentrasi tinggi.
7.      Penanganan anemi
Bila anemi kurang dari 5gr% atau hematokrit kurang dari 15% diberikan transfusi darah whole blood atau packed cells.
8.      Penanganan terhadap infeksi sekunder/sepsis
Infeksi sekunder yang sering terjadi yaitu pneumonia karena aspirasi, sepsis yang berasal dari infeksi paru, infeksi saluran kencing karena pemasangan kateter. Antibiotika yang dianjurkan sebelum diperoleh hasil kultur ialah kombinasi ampisilin dan gentamisin, atau sefalosporin generasi ke III.

Pencegahan
PENCEGAHAN PRIMER
1. Tindakan terhadap manusia
a. Edukasi adalah faktor terpenting pencegahan malaria yang harus diberikan kepada setiap pelancong atau petugas yang akan bekerja di daerah endemis. Materi utama edukasi adalah mengajarkan tentang cara penularan malaria, risiko terkena malaria, dan yang terpenting pengenalan tentang gejala dan tanda malaria, pengobatan malaria, pengetahuan tentang upaya menghilangkan tempat perindukan.
b. Melakukan kegiatan sistem kewaspadaan dini, dengan memberikan penyuluhan pada masyarakat tentang cara pencegahan malaria.
c. Proteksi pribadi, seseorang seharusnya menghindari dari gigtan nyamuk dengan menggunakan pakaian lengkap, tidur menggunakan kelambu, memakai obat penolak nyamuk, dan menghindari untuk mengunjungi lokasi yang rawan malaria. 
d.Modifikasi perilaku berupa mengurangi aktivitas di luar rumah mulai senja sampai subuh di saat nyamuk anopheles umumnya mengigit.
2. Kemoprofilaksis (Tindakan terhadap Plasmodium sp)
Walaupun upaya pencegahan gigitan nyamuk cukup efektif mengurangi paparan dengan nyamuk, namun tidak dapat menghilangkan sepenuhnya risiko terkena infeksi. Diperlukan upaya tambahan, yaitu kemoprofilaksis untuk mengurangi risiko jatuh sakit jika telah digigit nyamuk infeksius. Beberapa obat-obat antimalaria yang saat ini digunakan sebagai kemoprofilaksis adalah klorokuin, meflokuin (belum tersedia di Indonesia), doksisiklin, primakuin dan sebagainya. Dosis kumulatif maksimal untuk pengobatan pencegahan dengan klorokuin pada orang dewasa adalah 100 gram basa.
Untuk mencegah terjadinya infeksi malaria terhadap pendatang yang berkunjung ke daerah malaria pemberian obat dilakukan setiap minggu; mulai minum obat 1-2 minggu sebelum mengadakan perjalanan ke endemis malaria dan dilanjutkan setiap minggu selama dalam perjalanan atau tinggal di daerah endemis malaria dan selama 4 minggu setelah kembali dari daerah tersebut.
Pengobatan pencegahan tidak diberikan dalam waktu lebih dari 12-20 minggu dengan obat yang sama. Bagi penduduk yang tinggal di daerah risiko tinggi malaria dimana terjadi penularan malaria yang bersifat musiman maka upaya pencegahan terhadap gigitan nyamuk perlu ditingkatkan sebagai pertimbangan alternatif terhadap pemberian pengobatan profilaksis jangka panjang dimana kemungkinan terjadi efek samping sangat besar. 
3. Tindakan terhadap vector
a.       Pengendalian secara mekanis 
Dengan cara ini, sarang atau tempat berkembang biak serangga dimusnahkan, misalnya dengan mengeringkan genangan air yang menjadi sarang nyamuk. Termasuk dalam pengendalian ini adalah mengurangi kontak nyamuk dengan manusia, misalnya memberi kawat nyamuk pada jendela dan jalan angin lainnya.
b.      Pengendalian secara biologis 
Pengendalian secara biologis dilakukan dengan menggunakan makhluk hidup yang bersifat parasitik terhadap nyamuk atau penggunaan hewan predator atau pemangsa serangga. Dengan pengendalian secara biologis ini, penurunan populasi nyamuk terjadi secara alami tanpa menimbulkan gangguan keseimbangan ekologi. Memelihara ikan pemangsa jentik nyamuk, melakukan radiasi terhadap nyamuk jantan sehingga steril dan tidak mampu membuahi nyamuk betina. Pada saat ini sudah dapat dibiakkan dan diproduksi secara komersial berbagai mikroorganisme yang merupakan parasit nyamuk. Bacillus thuringiensis merupakan salah satu bakteri yang banyak digunakan, sedangkan Heterorhabditis termasuk golongan cacing nematode yang mampu memeberantas serangga.
Pengendalian nyamuk dewasa dapat dilakukan oleh masyarakat yang memiliki temak lembu, kerbau, babi. Karena nyamuk An. aconitus adalah nyamuk yang senangi menyukai darah binatang (ternak) sebagai sumber mendapatkan darah, untuk itu ternak dapat digunakan sebagai tameng untuk melindungi orang dari serangan An. aconitus yaitu dengan menempatkan kandang ternak diluar rumah (bukan dibawah kolong dekat dengan rumah). 
c.       Pengendalian secara kimiawi 
Pengendalaian secara kimiawi adalah pengendalian serangga mengunakan insektisida. Dengan ditemukannya berbagai jenis bahan kimiayang bersifat sebagai pembunuh serangga yang dapat diproduksi secara besar-besaran, maka pengendalian serangga secara kimiawi berkembang pesat.

PENCEGAHAN SEKUNDER
1. Pencarian penderita malaria
Pencarian secara aktif melalui skrining yaitu dengan penemuan dini penderita malaria dengan dilakukan pengambilan slide darah dan konfirmasi diagnosis mikroskopis dan /atau RDT (Rapid Diagnosis Test)) dan secara pasif dengan cara melakukan pencatatan dan pelaporan kunjungan kasus malaria. 
2. Diagnosa dini 
a. Gejala Klinis 
Diagnosis malaria sering memerlukan anamnesis yang tepat dari penderita tentang keluhan utama (demam, menggigil, berkeringat dan dapat disertai sakit kepala, mual, muntah, diare, dan nyeri otot atau pegal-pegal), riwayat berkunjung dan bermalam 1-4 minggu yang lalu ke daerah endemis malaria, riwayat tinggal di daerah endemis malaria, riwayat sakit malaria, riwayat minum obat malaria satu bulan terakhir, riwayat mendapat transfusi darah. Selain itu juga dapat dilakukan pemeriksaan fisik berupa: 
a)      Demam (pengukuran dengan thermometer ≥37.5 °C) 
b)      Anemia 
c)      Pembesaran limpa (splenomegali) atau hati (hepatomegali) 
b. Pemeriksaan Laboratorium 
a)      Pemeriksaan mikroskopis 
b)      Tes Diagnostik Cepat (RDT, Rapid Diagnostic Test
c. Pemeriksaan Penunjang 
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui kondisi umum penderita, meliputi pemeriksaan kadar hemoglobin, hematokrit, jumlah leukosit, eritrosit dan trombosit. Bisa juga dilakukan pemeriksaan kimia darah, pemeriksaan foto toraks, EKG (Electrokardiograff), dan pemeriksaan lainnya. 
3. Pengobatan yang tepat dan adekuat 
Berbeda dengan penyakit-penyakit yang lain, malaria tidak dapat disembuhkan meskipun dapat diobati untuk menghilangkan gejala-gejala penyakit. Malaria menjadi penyakit yang sangat berbahaya karena parasit dapat tinggal dalam tubuh manusia seumur hidup. Sejak 1638, malaria diobati dengan ekstrak kulit tanaman cinchona. bahan ini sangat beracun tetapi dapat menekan pertumbuhan protozoa dalam darah.
Saat ini ada tiga jenis obat anti malaria, yaitu Chloroquine, Doxycyline, dan Melfoquine. Tanpa pengobatan yang tepat akan dapat mengakibatkan kematian penderita. Pengobatan harus dilakukan 24 jam sesudah terlihat adanya gejala.
Pengobatan spesifik untuk semua tipe malaria: 
a. Pengobatan untuk mereka yang terinfeksi malaria adalah dengan menggunakan chloroquine terhadap P. falciparum, P. vivax, P. malariae dan P. ovale yang masih sensitif terhadap obat tersebut.
b. Untuk pengobatan darurat bagi orang dewasa yang terinfeksi malaria dengan komplikasi berat atau untuk orang yang tidak memungkinkan diberikan obat peroral dapat diberikan obat Quinine dihydrochloride.
c. Untuk infeksi malaria P. falciparum yang didapat di daerah dimana ditemukan strain yang resisten terhadap chloroquine, pengobatan dilakukan dengan memberikan quinine.
d. Untuk pengobatan infeksi malaria P. vivax yang terjadi di Papua New Guinea atau Irian Jaya (Indonesia) digunakan mefloquine.
e. Untuk mencegah adanya infeksi ulang karena digigit nyamuk yang mengandung malaria P. vivax dan P. ovale berikan pengobatan dengan primaquine. Primaquine tidak dianjurkan pemberiannya bagi orang yang terkena infeksi malaria bukan oleh gigitan nyamuk (sebagai contoh karena transfusi darah) oleh karena dengan cara penularan infeksi malaria seperti ini tidak ada fase hati.

PENCEGAHAN TERTIER 
1. Penanganan akibat lanjut dari komplikasi malaria
Kematian pada malaria pada umumnya disebabkan oleh malaria berat karena infeksi P. falciparum. Manifestasi malaria berat dapat bervariasi dari kelainan kesadaran sampai gangguan fungsi organ tertentu dan gangguan metabolisme. Prinsip penanganan malaria berat: 
a. Pemberian obat malaria yang efektif sedini mungkin 
b. Penanganan kegagalan organ seperti tindakan dialisis terhadap gangguan fungsi ginjal, pemasangan ventilator pada gagal napas.
c. Tindakan suportif berupa pemberian cairan serta pemantauan tanda vital untuk mencegah memburuknya fungsi organ vital.
2. Rehabilitasi mental atau psikologis 
Pemulihan kondisi penderita malaria,memberikan dukungan moril kepada penderita dan keluarga di dalam pemulihan dari penyakit malaria, melaksanakan rujukan pada penderita yang memerlukan pelayanan tingkat lanjut.


PROGNOSIS
Prognosa penderita malaria berat tergantung pada :
1.      Kecepatan / ketepatan diagnosis dan pengobatan. Makin cepat dan tepat diagnosis dan pengobatannya makin baik prognosisnya.
2.      Kegagalan fungsi organ. Semakin sedikit organ vital yang terganggu semakin baik prognosisnya. Dari penelitian di Minahasa yang melibatkan 111 penderita malaria berat, bila komplikasi hanya satu organ, mortalitasnya 10,5%, dengan 2 organ terkena mortalitas 47,6% dan bila 3 organ terkena 88,9%.9
3.      Kepadatan Parasit. Semakin padat parasitnya semakin buruk prognosisnya.
(WHO, 2010)
Mekanisme Komplikasi pada Malaria Berat
1.      Anemia
Pada dasarnya, mekanisme komplikasi pada malaria berat terjadi akibat respon imun yang bekerja melawan parasit malaria. Antigen-antigen parasit merupakan pemicu pelepasan zat-zat tertentu dari sel-sel pertahanan tubuh yang disebut sitokin. Sitokin dihasilkan oleh makrofag/monosit dan limfosit T. Sitokin yang dihasilkan oleh makrofag adalah TNF, IL-1 dan IL-6 sedangkan limfosit T menghasilkan TNF-α, IFN-γ, IL-4, IL-8, IL-10 dan IL-12. Sitokin yang diduga banyak berperan pada mekanisme patologi dari malaria adalah TNF (tumor necrosis factor). TNF- α menginduksi terjadinya perubahan pada netrofil yaitu pelepasan enzim lisosomal, ekspresi reseptor permukaan seperti reseptor Fc dan integrin, adhesi dan migrasi kemotaktik. Selanjutnya terjadi peningkatan daya adheren sel netrofil terhadap berbagai substrat dan sel sehingga daya bunuh netrofil terhadap parasit meningkat. Selain itu TNF-α juga memacu pembentukan sitokin lain seperti Il-1, IL-6, IL-12, IFN- γ dan meningkatkan sintesis ostaglandin. TNF- α juga meningkatkan ekspresi molekul adhesi seperti ICAM1 dan CD36 pada sel-sel endotel kapiler sehingga meningkatkan sitoadheren eritrosit yang terinfeksi parasit. Peningkatan sitoadheren tersebut meningkatkan risiko malaria serebral. IFN- γ berfungsi memacu pembentukan TNF-α dan juga meningkatkan daya bunuh netrofil. Telah dijelaskan bahwa kadar TNF- α yang tinggi dapat meningkatkan sitoadheren eritrosit yang terinfeksi parasit terhadap sel-sel endotel kapiler (Suparman, 2005).
Mekanisme yang mendasari terjadinya peningkatan fragilitas osmotik di dalam sel darah merah, bergantung pada inhibisi metabolisme (influks glukosa, aktivitas piruvat kinase, dan konsentrasi ATP) dari sel tersebut. INF-γ, IL-1, dan TNF menahan eritropoiesis invitro maupun invivo, dan ketiga sitokin ini bekerja secara sinergis atau saling menguatkan kerja yang lain guna menekan eritropoiesis. Gangguan respon Epo yang terlihat pada anemia mungkin sebagai hasil adanya efek supresi dari IL-1 (a atau ß) atau TNF terhadap sel- sel yang memproduksi Epo. Sitokin ini dapat menginhibisi produksi Epo pada kultur sel hepatoblastoma (Kar, 2005)
Infeksi malaria akan menyebabkan lisis sel darah merah yang mengandung parasit sehingga akan menyebabkan anemi. Jenis anemi yang ditemukan adalah hemolitik normokrom. Pada infeksi P. falciparum dapat terjadi anemi berat karena semua umur eritrosit dapat diserang. Eritrosit berparasit maupun tidak berparasit mengalami hemolisis karena fragilitas osmotik meningkat. Selain itu juga dapat disebabkan peningkatan autohemolisis baik pada eritrosit berparasit maupun tidak berparasit sehingga masa hidup eritrosit menjadi lebih singkat dan anemi lebih cepat terjadi. Pada infeksi P. vivax tidak terjadi destruksi darah yang berat karena hanya retikulosit yang diserang. Anemi berat pada infeksi P. vivax kronik menunjukkan adanya penyebab immunopatologik. (Suparman, 2005).
Pada setiap infeksi malaria, tingkat anemia lebih besar daripada yang dapat dikaitkan dengan destruksi sel oleh parasit secara tersendiri. Perubahan autoantigen yang dihasilkan dalam sel darah merah oleh parasit mungkin turut menyebabkan hemolisis, perubahan-perubahan ini dan peningkatan fragilitas osmotik terjadi pada semua eritrosit, baik yang terinfeksi maupun tidak. Hemolisis dapat juga diinduksi dengan kuinin atau primakuin pada orang-orang dengan defisiensi glucose-6-fosfat dehidrogenase herediter (Clyde, 2000).
Pigmen yang keluar ke dalam sirkulasi pada penghancuran sel darah merah berakumulasi dalam sel retikuloendotelial limpa, dimana folikelnya menjadi hiperplastik dan kadang-kadang nekrotik, dalam sel kupffer hati dan dalam sumsum tulang, otak dan organ lain. Pengendapan pigmen dan hemosiderin yang cukup mengakibatkan warna abu-abu kebiruan pada organ (Clyde, 2000).
2.         Hipoglikemia
Hipoglikemi sering terjadi pada anak‑anak, wanita hamil, dan penderita dewasa dalam pengobatan quinine (setelah 3 jam infus kina). Hipoglikemi terjadi karena: 1) Cadangan glukosa kurang pada penderita starvasi atau malnutrisi; 2) Gangguan absorbsi glukosa karena berkurangnya aliran darah ke splanchnicus; 3) Meningkatnya metabolisme glukosa di jaringan; 4) Pemakaian glukosa oleh parasit; 5) Sitokin akan menggangu glukoneogenesis; 6) Hiperinsulinemia pada pengobatan quinine. Metabolisme anaerob glukosa akan menyebabkan asidemia dan produksi laktat yang akan memperburuk prognosis malaria berat (Sudoyo, 2007).
3.         Asidosis
Asidosis (bikarbonat <15meq) atau asidemia (PH <7.25), pada malaria menunjukkan prognosis buruk. Keadaan ini dapat disebabkan: 1) Perfusi jaringan yang buruk oleh karena hipovolemia yang akan menurunkan pengangkutan oksigen; 2) Produksi laktat oleh parasit; 3) Terbentuknya laktat karena aktifitas sitokin terutama TNF‑α, pada fase respon akut; 4) Aliran darah ke hati yang berkurang, sehingga mengganggu bersihan laktat; 5) Gangguan fungsi ginjal, sehingga terganggunya ekresi asam. Asidosis metabolik dan gangguan metabolik: pernafasan kussmaul, peningkatan asam laktat, dan pH darah menurun (<7,25) dan penurunan bikarbonat (< 15meq). Keadaan asidosis bisa disertai edema paru, syok gagal ginjal, hipoglikemia. Gangguan lain seperti hipokalsemia, hipofosfatemia, dan hipoalbuminemia (Sudoyo, 2007).
4.         Hiperparasitemia
Adalah dijumpainya skizon di dalam darah tepi > 5% (250.000/ul)




















(Harijanto, 2000)

5.         Gagal Ginjal Akut (GGA)
Kelainan fungsi ginjal dapat terjadi prerenal karena dehidrasi (>50%), dan hanya ±510 % disebabkan oleh nekrosis tubulus akut. Gangguan fungsi ginjal ini oleh karena anoksia yang disebabkan penurunan aliran darah ke ginjal akibat dehidrasi dan sumbatan mikrovaskular akibat sekuestrasi, sitoadheren dan rosseting.
Apabila berat jenis (BJ) urin <1.01 menunjukkan dugaan nekrosis tubulus akut; sedang urin yang pekat dengan BJ >1.05, rasio urin:darah > 4:1, natrium urin < 20 mmol/L menunjukkan dehidrasi
Secara klinis terjadi oligouria atau poliuria. Beberapa faktor risiko terjadinya  GGA ialah hiperparasitemia, hipotensi, ikterus, hemoglobinuria.
Dialisis merupakan pengobatan yang dapat menurunkan mortalitas. Seperti pada hiperbilirubinemia, anuria dapat berlangsung terus walaupun pemeriksaan parasit sudah negative.

6.      Malaria Algid (Syok)
Terjadi gagal sirkulasi atau syok, tekanan sistolik <70 mmHg, disertai gambaran klinis keringat dingin, atau perbedaan temperatur kulit-mukosa >1 ˚C, kulit tidak elastis, pucat. Pernapasan dangkal, nadi cepat, tekanan darah turun, sering tekanan sistolik tak terukur dan nadi yang normal.
Syok umumnya terjadi karena dehidrasi dan biasanya bersamaan dengan sepsis. Pada kebanyakan kasus didapatkan tekanan darah normal rendah yang disebabkan karena vasodilatasi.
Asidosis
Asidosis (bikarbonat <15meq) atau asidemia (PH <7.25), pada malaria menunjukkan prognosis buruk. Keadaan ini dapat disebabkan: 1) Perfusi jaringan yang buruk oleh karena hipovolemia yang akan menurunkan pengangkutan oksigen; 2) Produksi laktat oleh parasit; 3) Terbentuknya laktat karena aktifitas sitokin terutama TNFα, pada fase respon akut; 4) Aliran darah ke hati yang berkurang, sehingga mengganggu bersihan laktat; 5) Gangguan fungsi ginjal, sehingga terganggunya ekresi asam.
Asidosis metabolik dan gangguan metabolik: pernafasan kussmaul, peningkatan asam laktat, dan pH darah menurun (<7,25) dan penurunan bikarbonat (< 15meq).
Keadaan asidosis bisa disertai edema paru, syok gagal ginjal, hipoglikemia. Gangguan lain seperti hipokalsemia, hipofosfatemia, dan hipoalbuminemia.

7.         Gangguan Perdarahan
Gangguan perdarahan oleh karena trombositopenia sangat jarang terjadi (<10%),. Perdarahan lebih sering disebabkan oleh Diseminata Intravaskular Coagulasi (DIC). Gambaran klinisnya perdarahan spontan seperti epistaksis, petekie, purpura,hematoma, perdarahan gusi, saluran cerna dan / atau disertai kelainan laboratorik adanya gangguan koagulasi intravaskular.



(Dondorp, 2005)

8.         Kelainan hati
Ikterus sering dijumpai pada infeksi malaria falsiparum, mungkin disebabkan karena sekuestrasi dan sitoadherens yang menyebabkan mikrovaskular. Ikterik karena hemolitik sering terjadi.
Proses patologik
Eritrosit parasit (EP) infeksi plasmodium falsiparum
 

Adhesi dengan sel lain yaitu endotel vascular, eritrosit

Sel sulit melewati kapiler dan filtrasi limpa

Sitoadherens dan sekuestrasi
 

Obstruksi mikrovaskular

Sitoadherens
Adalah melekatnya EP matang di permukaan endotel vascular. Hanya terjadi pada kapiler dan venula post kapiler.




Penumpukan EP di mikrovaskular




Gangguan EP di mikrovaskular






Gangguan aliran mikrovaskular
 

Anoksia dan hipoksia jaringan



Sekuestrasi
Sitoadherens menyebabkan EP bersekuestrasi dalam mikrovaskular organ vital.
 
Parasit yang bersekuestrasi menumpuk di otak, paru, usus, jantung, limpa, hepar, otot, ginjal
 
Dilaporkan tidak ada kasus malaria serebral yang tidak mengalami sekuestrasi

Pada penderita malaria dengan komplikasi ikterik akan dijumpai hasil pemeriksaan lab serum bilirubin > 3mg/dl.




9.            Haemoglobinuria (Black Water Fever)

Biasanya terjadi pada infeksi P. falciparum yang berulang- ulang pada orang non imun atau dengan pengobatan yang tidak adekuat.
Bukan karena penggunaan obat antimalaria pada penderita defisiensi G6PD yang biasanya karena pemberian primakuin.
Ditandai dengan urin yang berwarna kehitaman atau merah coklat akibat  hemolisis yang massif
Sekuestrasi
 

RBC infected + uninfected pecah




Hemolisis intravascular
 
Hemoglobinuria

10.     Gangguan kesadaran
Malaria dengan penurunan kesadaran yang ditandai dengan GCS ≤ 15 namun masih dapat dirangsang (arousable).
Penatalaksanaan pasien tidak sadar:
a.    Membuat grafik suhu, nadi dan napas secara teratur
b.    Pasang jalur infuse dan diganti setiap 3 hari agar tidak terjadi tromboflebitis
c.    Pasang kateter
d.   Pasang NGT dan sedot isi lambung untuk mencegah aspirasi pneumonia
e.    Pasang pelindung mata karena reflek mengedip yang berkurang sehingga rawan menyebabkan kerusakan pada kornea
f.     Jaga kebersihan mulut untuk mencegah infeksi glandula parotis
g.    Ubah posisi secara teratur untuk mencegah ulkus decubitus. (Depkes, 2008)

11.        Edema paru
Edema paru pada malaria berat sering timbul pada fase lanjut. Edema paru terjadi karena:
a.    ARDS
ARDS terjadi karena peningkatan permeabilitas kapiler paru yang ditandai dengan:
1)   Terjadi akut
2)   Gambaran bercak putih pada foto thoraks
3)   Tidak ada tanda gagal jantung kiri
4)   Napas cepat dan dalam
5)   Sputum berdarah dan berbusa
6)   Hipoksemia
Penatalaksanaan ARDS:
1)   Berikan oksigen
2)   PEEP(Positive End Respiratory Pressure) jika memungkinkan
3)   Segera dirujuk.
b.    Over hidrasi cairan
Over hidrasi cairan ditandai dengan adanya tanda gagal jantung kiri, biasanya disebabkan karena gagal ginjal akut disertai dengan pemberian cairan berlebih. Penatalaksanaan over hidrasi:
1)   Batasi cairan
2)   Furosemid 40 mg IV diulang 1 jam kemudian monitor urin output dan vital sign
3)   Segera dirujuk
4)   Posisikan setengah duduk
5)   Dapat dilakukan venaseksi, tampung darah 250 – 500 ml dengan kantong darah dan jika sudah normal darah dapat dikembalikan. (Depkes, 2008)

12.              Kejang berulang
Malaria yang disertai kejang umum > 2x dalam 24 jam walaupun sudah dilakukan kompres dingin, kejang ini disebabkan karena adanya gangguan pada otak. Penatalaksanaan kejang umum:
a.    Diazepam 0,2 mg/kgBB IV atau IM dapat diulang sampai kejang terkendali
b.    Jika secara parenteral tidak memungkinkan dapat diberikan per rectal dengan dosis 0,5 – 1 mg/kgBB. (Depkes, 2008)

(Depkes RI, 2008)




DAFTAR PUSTAKA


Anonim. 2010. Pencegahan Malaria. Available at: http://www.kesmas.tk/2010/11/pencegahan-malaria.html on Sept 7, 2011.

Alimudiarnis. 2009. Manifestasi Klinis dan Penatalaksanaan Malaria Berat. Available at: http://internis.files.wordpress.com/2011/01/malaria-berat.pdf on Sept 7, 2011. 

Balentine, Jerry R. 2011. Emedicine Articles; Sepsis (Bacterial Infection). Diunduh di http://www.emedicinehealth.com/sepsis_blood_infection/article_em.htm pada 7 oktober 2011.

Depkes RI. 2008. Pedoman Penatalaksanaan Malaria. Diakses dari http://www.pppl.depkes.go.id// pada tanggal 4 Oktober 2011

Dondorp, A.M., 2005. Pathophysiology, Clinical Presentation and Treatment of Cerebral Malaria. Neurology Asia 10: 67-77

Garcia, Lynne S., David A Bruckner, 1996. Diagnosis Parasitologi Kedokteran. EGC; Jakarta

Hadi U. 2008. Current Treatment Guideline of Malaria dalam Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Airlangga

Harijanto, P.N. 2000. Malaria : epidemiologi, patogenesis, manifestasi klinis dan Penanganan. Jakarta : EGC

Lombardo, M. C. 2005. Gangguan Kejang. Dalam: Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Volume 2. Edisi 6. Jakarta: EGC.
                                                  

Sudoyo A. W. dkk, 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV . Jakarta : EGC

WHO. 2010. Guidelines for The Treatment of Malaria. Second Edition.

Zulkarnain, I., Setiawan B., 2006. Malaria Berat. Dalam: Sudoyo, A. W (eds). Ilmu Penyakit Dalam Vol III. Ed 4. Jakarta. Departemen Ilmu Penyakit Dalam: 1745-1748

Tidak ada komentar:

Posting Komentar